PERCERAIAN DALAM ISLAM
*PERCERAIAN DALAM
ISLAM *
Semua orang berharap jalinan rumah tangga antara suami dan
istri berakhir bahagia, sampai kakek nenek dan beranak cucu, bahkan sampai ke
liang lahat. Dan ketika kebahagian itu berakhir dengan talak, maka manusia itu
sendiri, juga Allah dan Rasul-Nya pun kecewa. Oleh karena itu, Allah
menyarankan agar suami tidak mudah menjatuhkan kata talak pada istrinya
walaupun ada rasa tidak suka dalam hati. Dalam QS An Nisa 4:19 Allah berfirman:
وَعَاشِرُوهُنَّ
بِالْمَعْرُوفِ فَإِن كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَن تَكْرَهُواْ شَيْئاً
وَيَجْعَلَ اللّهُ فِيهِ خَيْراً كَثِيراً
“Dan bergaullah
dengan mereka (para istri) secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai
mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal
Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” Rasulullah bersabda: “
أبغض الحلال إلى الله الطلاقز
Perkara
halal yang paling tidak disukai Allah adalah talak.
Namun demikian, Islam tidak mengharamkan perceraian.
Karena, ada kalanya sebuah konflik rumah tangga tidak dapat didamaikan dan
justru akan menimbulkan kesengsaraan dan konflik yang lebih hebat apabila
dilanjutkan. Dalam situasi seperti ini, maka syari’ah membolehkan adanya
perceraian seperti tersebut dalam QS An-Nisa 4:130 :
وَإِنْ يَتَفَرَّقَا يُغْنِ
اللَّهُ كُلا مِنْ سَعَتِهِ وَكَانَ اللَّهُ وَاسِعًا حَكِيمًا
“Jika keduanya bercerai, maka Allah akan memberi kecukupan
kepada masing-masingnya dari limpahan karunia-Nya. Dan adalah Allah Maha Luas
(karunia-Nya) lagi Maha Bijaksana.”
Cerai
Hanya Dua Kali
Haknya suami untuk
menceraikan istri hanya dua kali dalam arti selama tidak lebih dari dua kali
maka suami boleh rujuk pada istrinya kapan saja dalam masa iddah tanpa perlu
akad nikah baru. Namun, apabila suami sudah dua kali menceraikan istrinya,
maka cerai yang ketiga adalah betul-betul yang terakhir. Tidak ada lagi jalan
bagi sumi untuk rujuk kecuali apabila istri menikah dengan lelaki yang lain.
Dalam QS Al-Baqarah 2:230 Allah menjelaskan:
فَإِن طَلَّقَهَا فَلَا
تَحِلُّ لَهُ مِن بَعْدُ حَتَّىٰ تَنكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ ۗ فَإِن طَلَّقَهَا
فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَن يَتَرَاجَعَا إِن ظَنَّا أَن يُقِيمَا حُدُودَ
اللَّهِ ۗ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
“Kemudian jika si
suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi
halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang
lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama
dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat
menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada
kaum yang (mau) mengetahui.”
Ulama fiqih menyebut talak ketiga dengan talak bain
bainunah kubro. Yaitu perceraian yang berlangsung selamanya dan tidak ada
jalan untuk rujuk.
Oleh sebab itu, suami hendaknya
berhati-hati dalam menjatuhkan kata “talak”. Karena, tidak jarang terjadi
kata talak dan semacamnya dijadikan senjata suami untuk mengancam istri atau
sebagai kata “mainan” suami saat bertengkar dengan istri. Padahal kata talak
tidak bisa dijadikan main-main. Kata talak, cerai dan
pisah adalah tiga kata talak sharih (eksplisit) Al Ghazi dalam Fathul
Qarib menyatakan:
ولا يفتقر صريح الطلاق
إلى النية ويستثنى المكره على الطلاق، فصريحه كناية في حقه إن نوى وقع، وإلا فلا
yang apabila
diucapkan oleh suami pada istrinya maka jatuhlah talak walaupun tanpa ada niat
sedikitpun dari suami untuk menceraikan istrinya.
Ucapan Talak
Main-main Tetap Jatuh Talak
Rasulullah bersabda dalam sebuah hadits riwayat Abu
Dawud:
َلَاثٌ جِدُّهُنَّ جِدٌّ وَهَزْلُهُنَّ جِدٌّ
النِّكَاحُ وَالطَّلَاقُ وَالرَّجْعَةُ.
“Ada
tiga perkara yang serius dan main-main sama-sama dianggap serius. Yaitu, nikah,
talak dan rujuk.” Berkaitan dengan hadits ini, Al-Mubarakpuri dalam Tuhfadzul
Ahfadzi menyatakan:
الرَّجْعَةُ:
عَوْدُ الْمُطَلِّقِ إِلَى طَلِيقَتِهِ، يَعْنِي لَوْ طَلَّقَ أَوْ نَكَحَ أَوْ
رَاجَعَ وَقَالَ كُنْت فِيهِ لَاعِبًا هَازِلًا لَا يَنْفَعُهُ. قَالَ الْقَاضِي:
اِتَّفَقَ أَهْلُ الْعِلْمِ عَلَى أَنَّ طَلَاقَ الْهَازِلِ يَقَعُ فَإِذَا جَرَى
صَرِيحُ لَفْظَةِ الطَّلَاقِ عَلَى لِسَانِ الْعَاقِلِ الْبَالِغِ لَا يَنْفَعُهُ
أَنْ يَقُولَ كُنْت فِيهِ لَاعِبًا أَوْ هَازِلًا لِأَنَّهُ لَوْ قُبِلَ ذَلِكَ
مِنْهُ لَتَعَطَّلَتْ الْأَحْكَامُ وَقَالَ كُلُّ مُطَلِّقٍ أَوْ نَاكِحٍ إِنِّي
كُنْت فِي قَوْلِي هَازِلًا فَيَكُونُ فِي ذَلِكَ إِبْطَالُ أَحْكَامِ اللَّهِ
تَعَالَى. فَمَنْ تَكَلَّمَ بِشَيْءٍ مِمَّا جَاءَ ذِكْرُهُ فِي هَذَا الْحَدِيثِ
لَزِمَهُ حُكْمُهُ.
(Raj’ah atau rujuk adalah kembalinya suami yang mentalak
kepada istrinya. Yakni, apabila suami mentalak, atau menikah atau rujuk lalu ia
berkata “Saya hanya main-main”, maka ucapan itu tidak dianggap. Al Qadhi
mengatakan: Ulama sepakat bahwa talaknya orang yang main-main itu terjadi.
Apabila keluar kata talak dari lidah orang yang berakal sehat, dan akil baligh maka
tidak ada gunanya pengakuannya bahwa dia hanya main-main. Karena kalau
demikian, maka akan terjadi kesia-siaan hukum dan pembatalan hukum Allah.
Barangsiapa yang mengucapkan perkataan yang disebut dalam hadits maka berlaku
hukum yang tetap.
Ucapan Talak
Orang Bodoh
Seperti disebut di muka bahwa talak yang diucapkan pada istri
secara main-main pun terjadi talak. Begitu juga ucapan orang yang bodoh yang
tidak tahu bahwa mengucapkan kata talak itu dapat terjadi talak walaupun tanpa
niat. Dengan kata lain, kebodohan atau ketidaktahuan seorang suami tidak
dapat dijadikan alasan atas kesalahannya dalam mengucapkan talak. Imam Syafi’i
menyatakan bahwa kebodohan tidak dapat menjadi alasan yang dimaafkan:
لو عذر الجاهل لأجل جهله لكان الجهل خيرا من العلم ,
إذ كان يحط عن العبد أعباء التكليف , ويريح قلبه من ضروب التعنيف , فلا حجة للعبد
في جهله بالحكم بعد التبليغ والتمكين ; ﴿ لِأَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى
اللَّهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ ﴾
(Kalau orang bodoh dimaafkan maka niscaya kebodohan itu lebih
baik dari kepintaran… kebodohan atas hukum tidak dapat dipakai sebagai alasan
setelah adanya risalah kenabian berdasarkan QS An-Nisa 4:165 “supaya tidak ada
alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan
adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”)
Sebagian
ulama menyatakan bahwa kebodohan atau ketidaktahuan itu dimaafkan dalam
beberapa kasus khusus sebagai berikut:
Pertama, ketidaktahuan pada hukum-hukum talak dan sighat
(kata) talak bagi muslim yang tinggal di negara yang jauh dari negara Islam dan
sulit bagi penduduknya untuk berhubungan dengan ulama atau tidak tergerak untuk
melakukan itu. Karena ulama fiqih berpendapat bagi orang yang tinggal di negara
nonmuslim (darul harb) dan tidak tahu bahwa ia berkewajiban shalat, zakat, dan
lainnya dan dia tidak melaksakan kewajibannya itu maka ia tidak wajib dalil
mengqadhanya karena samarnya petunjuk baginya dan tidak sampainya perintah
syariah padanya secara faktual. Maka, ketidaktahuan pada ajaran syariah itu
menjadi alasan yang dimaafkan (udzur).
Berbeda halnya orang yang masuk Islam di negara muslim karena
tersebarnya informasi hukum syariah dan kemungkin untuk dapat bertanya.
As-Suyuthi dalam Ashbah wan Nadzair menyatakan: Setiap orang yang tidak tahu
atas keharaman sesuatu yang diketahui oleh kebanyakan orang maka pengakuan
tidaktahunya itu tidak diterima kecuali kalau dia baru masuk Islam atau dia
hidup di pedalaman yang jauh dari informasi seperti haramnya zina, membunuh,
mencuri, minum alkohol, berbicara dalam shalat, makan saat puasa.
Kedua, talak orang yang tidak tahu arti dari talak itu
sendiri. Mayoritas ulama fiqih berpendapat tidak terjadi talak bagi orang yang
tidak tahu arti kata yang menunjukkan pada talak. Seperti, apabila orang
non-Arab berkata pada istrinya “Anti Taliq” (Kamu tertalak) tapi tidak mengerti
artinya, maka tidak terjadi talak.
Az-Zarkasyi menyatakan: Apabila orang non-Arab mengucapkan
kata kufur, atau iman, atau talak, atau i’taq, atau jual beli, dan lain-lain
tapi tidak mengerti artinya, maka kata-katanya tidak dianggap. … Begitu juga
orang Arab yang berbicara dengan bahasa non-Arab yang tidak dia mengerti
maknanya maka isi perkataan tidak dianggap.
Termasuk juga ketidaktahuan dalam menghitung seperti suami
menyatakan mentalak istrinya dengan talak satu padahal sebenarnya talak dua,
dia tidak tahu berhitung, tetapi dia bermaksud pada artinya, maka ulama berbeda
pendapat. Menurut satu pendapat: terjadi talak satu, sedang pendapat lain terjadi
talak dua.
Ketiga, apabila orang Arab berbicara dengan kalimat bahasa
Arab akan tetapi tidak mengerti maknanya secara syariah, seperti dia berkata
pada istrinya: أنت طالق للسنة (Kamu tertalak sunnah) atau أنت طالق للبدعة (Kamu
tertalak bid’ah) sedangkan dia tidak tahu pengertian lafadznya, atau suami
berkata dengan kata khuluk atau nikah, maka menurut Izzuddin bin Abdussalam:
Kata-katanya tidak dianggap karena suami tidak punya pemahaman atas maksudnya
kecuali apabila dia bermaksud dengan kata yang diucapkannya.
Dalam koteks inilah maka Ibnu Hazm dalam Maratib al-Ijmak menyatakan:
Ulama berbeda pendapat dalam soal talaknya orang bodoh. Pendapat pertama: talak
terjadi. Pendapat kedua, talak tidak terjadi. Pendapat ketiga, talak terjadi
secara hukum kecuali ada bukti atas tidak adanya maksud suami untuk bercerai
maka dihukumi tidak terjadi talak.
Talak
Suami yang Sedang Marah
Ucapan cerai umumnya diucapkan pada saat ketika suami sedang
marah. Hampir Kecil kemungkinan suami mengucapkan kata talak secara serius
kecuali saat emosi karena sedang terlibat pertengkaran dengan istrinya.
Oleh karena itu, kebanyakan ulama fiqih madzhab Syafi’i sepakat bahwa talak
yang diucapkan ketika sedang marah itu sah dan jatuh talak. Imam Nawawi dalam
Al-Majmuk menyatakan: “Talak terjadi di saat rela (normal) atau marah, serius
atau main-main berdasarkan hadits bahwa bersabda: Ada tiga hal yang waktu
serius dan bercanda sama-sama dianggap serius yaitu nikah, talak dan rujuk.”
Al-Bakri dalam Ianah at-Talibin mengutip Imam Ramli
menyatakan hal yang sama dengan pengecualian orang yang marahnya mencapai
puncak sampai hilang akal seperti orang gila maka dalam kasus terakhir talaknya
tidak sah:
واتفقوا على
وقوع طلاق الغضبان ، وقد سئل الشمس الرملي عن الحلف بالطلاق حال الغضب الشديد المخرج
عن الإشعار: هل يقع الطلاق أم لا؟ وهل يصدق الحالف في دعواه شدة الغضب وعدم
الإشعار؟. فأجاب: بأنه لا اعتبار بالغضب فيها. نعم: إن كان زائل العقل عُذِر.
(Ulama madzhab Syafi’i sepakat jatuhnya talak orang yang
marah. Syamsuddin Ar-Ramli pernah ditanya tentang sumpah talak saat marah yang
sangat yang keluar dari kesadaran apakah talak terjadi atau tidak? Dan apakah
dibenarkan pengakuan orang yang bersumpah saat sedang sangat marah dan tidak
sadar? Ar-Ramli menjawab: Kemarahannya tidak dianggap. Tapi kalau sampai hilang
akal maka dimaafkan.)
Ulama fiqih dari madzhab Hanbali juga berpendapat bahwa talak
dalam keadaan marah itu sah dan jatuh talak selagi masih belum hilang akal
seperti keterangan Ar-Rahibani dalam kitab Mathalib Ulin Nuha Sedangkan
pendapat kalangan ulama madzhab Maliki menyatakan sahnya talak orang marah
walaupun kemarahannya mencapai tahap hilang akal seperti orang gila.
Adapun perspektif yang sama sekali berbeda dalam soal ini
adalah pandangan ulama madzhab Hanafi. Mereka menegaskan bahwa talak orang
marah hukumnya tidak sah, sia-sia dan tidak dianggap secara syar’i. Pendapat
jumhur ulama madzhab Hanafi ini didukung oleh sebagian kecil dari madzhab
Hanbali seperti Ibnu Qayyim Al-Jauziyah di mana ia membagi marah menjadi tiga
tingkatan yaitu marah biasa, marah sedang dan marah yang sangat. Ibnul Qayyim
menyatakan bahwa talaknya orang yang marah biasa hukumnya sah. Sedangkan marah
yang level sedang maka terdapat perbedaan ulama tentang sah dan tidaknya.
Adapun talaknya orang yang sangat marah sampai hilang kesadarannya, maka
ulama sepakat atas ketidaksahan talaknya.
Talak
Keliru karena Keseleo Lidah
Talaknya orang yang salah ucap. Suami yang berkata pada
istrinya: Beri aku minum. Lalu mulutnya tak terasa mengatakan “Kamu ditalak”,
maka talaknya tidak sah menurut madzhab Syafi’i dan Hanbali karena tidak adanya
maksud. Dan ucapan tanpa maksud tidak dianggap.
Madzhab Hanafi berpendapat: talaknya sah walaupun dia tidak
memilih pada hukumnya karena bicaranya merupakan kehendak sendiri.
Madzhab Maliki berpendapat bahwa apabila memang betul-betul
keseleo lidah saat hendak mengucapkan yang selain talak, maka talaknya tidak
terjadi.
Talak
Rujuk, Bain Sughro dan Bain Kubro
Talak dari segi terjadinya perpisahan suami dan istri terbagi
menjadi tiga macam yaitu talak raj’i, talak ba’in bainunah sughro atau biasa
disingkat dengan talak baik sughro dan talak bain bainunah kubro yang biasa
disebut dengan talak ba’in atau talak tiga. Ketiga macam talak ini
terjadi dalam situasi tertentu dan memiliki implikasi hukum yang berbeda
sebagai berikut:
Pertama, talak
raj’i atau talak rujuk. Adalah talak satu atau talak dua yang dijatuhkan suami
pada istri. Disebut talak raj’i karena suami dapat kembali (rujuk) kapan
saja ia mau selama masa iddah belum habis tanpa perlu akad nikah baru. Namun,
apabila keinginan untuk rujuk itu ketika masa iddah sudah habis, maka harus
dilakukan akad nikah baru dengan maskawin yang baru pula. Perlu diketahui bahwa
selama masa iddah suami tidak boleh melakukan hubungan intim, bercumbu, khalwat
(berduaan), melakukan perjalanan berdua, dan lain-lain karena istrinya
berstatus dicerai. Kecuali setelah suami menyatakan rujuk. Ini pendangan
madzhab Syafi’i. Adapun madzhab Hanafi dan Hanbali memiliki pandangan yang
berbeda
Kedua, talak ba’in bainunah sughro. Yaitu talak yang
menghilangkan hak suami untuk kembali (rujuk) kecuali dengan akad nikah dan
mahar baru. Talak tipe ini terjadi dalam beberapa situasi yaitu:
a)
istri yang dicerai tanpa terjadinya hubungan intim
b)
talak raj’i yang habis masa iddahnya;
c)
khuluk atau gugat cerai istri dengan membayar sejumlah harta pada suami;
d)
gugat cerai istri yang diberikan oleh pengadilan.
Adapun
implikasi hukum dari talak bain sughro adalah:
a)
Hilangnya kepemilikan dan kehalalan suami pada istri;
b)
berkurangnya quota talak yang dimiliki suami;
c)
hilangnya hak saling mewarisi antara suami-istri.
Ketiga, talak ba’in bainunah kubro atau talak tiga. Yaitu,
talak ketiga yang dilakukan suami. Apabila suami menjatuhkan talak satu
lalu rujuk, kemudian talak kedua lalu rujuk lagi, maka ketiga suami
menjatuhkan talak yang ketiga itu disebut dengan talak ba’in kubro atau talak
tiga atau talak terakhir. Dengan talak tiga ini, maka suami tidak lagi boleh
untuk rujuk pada istri kecuali si istri menikah dengan suami kedua dengan nikah
yang syar’i.
0 Response to "PERCERAIAN DALAM ISLAM"
Posting Komentar