UNDANG-UNDANG R I NOMOR 5 TAHUN 1960 TENTANG PERATURAN DASAR POKOK - POKOK AGRARIA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 5 TAHUN 1960
TENTANG
PERATURAN DASAR POKOK - POKOK AGRARIA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang
|
:
|
a.
|
bahwa didalam
Negara Republik Indonesia yang susunan kehidupan rakyatnya, termasuk
perekonomiannya, terutama masih bercorak agraris, bumi, air dan ruang
angkasa, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa mempunyai fungsi yang amat
penting untuk membangun masyarakat yang adil dan makmur;
|
|||
b.
|
bahwa hukum agraria
yang masih berlaku sekarang ini sebagian tersusun berdasarkan tujuan dan
sendi-sendi dari pemerintahan jajahan dan sebagian dipengaruhi olehnya,
hingga bertentangan dengan kepentingan rakyat dan Negara didalam
menyelesaikan revolusi nasional sekarang ini serta pembangunan semesta;
|
|||||
c.
|
bahwa hukum agraria
tersebut mempunyai sifat dualisme, dengan berlakunya hukum adat disamping
hukum agraria yang didasarkan atas hukum barat;
|
|||||
d.
|
bahwa bagi rakyat
asli hukum agraria penjajahan itu tidak menjamin kepastian hukum;
|
|||||
Berpendapat
|
:
|
a.
|
bahwa berhubung
dengan apa yang tersebut dalam pertimbangan - pertimbangan diatas perlu
adanya hukum agraria nasional, yang berdasar atas hukum adat tentang tanah,
yang sederhana dan menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia,
dengan tidak mengabaikan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama;
|
|||
b.
|
bahwa hukum agraria
nasional harus memberi kemungkinan akan tercapainya fungsi bumi, air dan
ruang angkasa, sebagai yang dimaksud diatas dan harus sesuai dengan
kepentingan rakyat Indonesia serta memenuhi pula keperluannya menurut
permintaan zaman dalam segala soal agraria;
|
|||||
c.
|
bahwa hukum agraria
nasional itu harus mewujudkan penjelmaan dari pada Ketuhanan Yang Maha Esa,
Perikemanusiaan. Kebangsaan, Kerakyatan dan Keadilan Sosial, sebagai azas
kerokhanian Negara dan cita-cita bangsa, seperti yang tercantum didalam
Pembukaan Undang-undang Dasar.
|
|||||
d.
|
bahwa hukum agraria
tersebut harus pula merupakan pelaksanaan dari pada Dekrit Presiden tanggal 5
Juli 1959, ketentuan dalam pasal 33 Undang-undang Dasar dan Manifesto Politik
Republik Indonesia, sebagai yang ditegaskan dalam pidato Presiden tanggal 17
Agustus 1960, yang mewajibkan Negara untuk mengatur pemilikan tanah dan
memimpin penggunaannya, hingga semua tanah diseluruh wilayah kedaulatan
bangsa dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, baik secara
perseorangan maupun secara gotong-royong;
|
|||||
e.
|
bahwa berhubung
dengan segala sesuatu itu perlu diletakkan sendi-sendi dan disusun
ketentuan-ketentuan pokok baru dalam bentuk Undang-undang yang akan merupakan
dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional tersebut diatas;
|
|||||
Memperhatikan
|
:
|
Usul Dewan
Pertimbangan Agung Sementara Republik Indonesia Nomor 1/Kpts/Sd/II/60 tentang
Perombakan Hak Tanah dan Penggunaan Tanah;
|
||||
Mengingat
|
:
|
a.
|
Dekrit Presiden
tanggal 5 Juli 1959;
|
|||
b.
|
Pasal 33
Undang-undang Dasar;
|
|||||
c.
|
Penetapan Presiden
Nomor 1 tahun 1960 (Lembaran Negara 1960 Nomor 10) tentang Penetapan
Manifesto Politik Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1959 sebagai
Garis-garis besar dari pada haluan Negara dan Amanat Presiden tanggal 17
Agustus 1960;
|
|||||
d.
|
Pasal 5 jo. 20
Undang-undang Dasar;
|
|||||
Dengan persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong.
|
||||||
Memutuskan:
|
||||||
Dengan mencabut
|
:
|
1.
|
"Agrarische
Wet" (Staatsblat 1870 Nomor 55), sebagai yang termuat dalam pasal 51
" Wet op de Staatsinrichting van Nederlands Indie" (Staatsblad 1925
Nomor 447) dan ketentuan dalam ayat-ayat lainnya dari pasal itu;
|
|||
2.
|
a.
|
"Domienverklaring"
tersebut dalam pasal 1 "Agrarisch Besluit" (Staatsblad 1870 Nomor
118);
|
||||
b.
|
"Algemene
Domienverklaring" tersebut dalam Staatsblad 1875 Nomor 119A;
|
|||||
c.
|
"Domeinverklaring
untuk Sumatera" tersebut dalam pasal 1 dari Staatsblad 1874 Nomor 94f;
|
|||||
d.
|
"Domeinverklaring
untuk keresidenan Menado" tersebut dalam pasal 1 dari Staatsblad 1877
Nomor 55;
|
|||||
e.
|
"Domeinverklaring
untuk residentie Zuider en Oosterafdeling van Borneo" tersebut dalam
pasal 1 dari Staatsblad 1888 Nomor 58;
|
|||||
3.
|
Koninklijk Besluit
tanggal 16 April 1872 Nomor 29 (Staatsblad 1872 Nomor 117) dan peraturan
pelaksanaannya;
|
|||||
4.
|
Buku ke-II Kitab
Undang-undang Hukum Perdata Indonesia sepanjang yang mengenai bumi, air serta
kekayaan alam yang terkandung didalamnya, kecuali ketentuan-ketentuan
mengenai hypotheek yang masih berlaku pada mulai berlakunya Undang-undang
ini;
|
|||||
Menetapkan
|
:
|
Undang-undang
tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.
|
||||
PERTAMA
BAB
I
DASAR-DASAR
DAN KETENTUAN-KETENTUAN POKOK
|
||||||
Pasal
1
|
||||||
(1)
|
Seluruh wilayah
Indonesia adalah kesatuan tanah-air dari seluruh rakyat Indonesia yang
bersatu sebagai bangsa Indonesia.
|
|||||
(2)
|
Seluruh bumi, air
dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya dalam
wilayah Republik Indoneisa, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi,
air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional.
|
|||||
(3)
|
Hubungan antara
bangsa Indonesia dan bumi, air serta ruang angkasa termaksud dalam ayat (2)
pasal ini adalah hubungan yang bersifat abadi.
|
|||||
(4)
|
Dalam pengertian
bumi, selain permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi dibawahnya serta yang
berada dibawah air.
|
|||||
(5)
|
Dalam pengertian
air termasuk baik perairan pedaftaran maupun laut wilayah Indonesia.
|
|||||
(6)
|
Yang dimaksud
dengan ruang angkasa ialah ruang diatas bumi dan air tersebut pada ayat (4)
dan (5) pasal ini.
|
|||||
Pasal
2.
|
||||||
(1)
|
Atas dasar
ketentuan dalam pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar dan hal-hal sebagai
yang dimaksud dalam pasal 1 bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan
alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh
Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.
|
|||||
(2)
|
Hak menguasai dari
Negara termaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk :
|
|||||
a.
|
mengatur dan
menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi,
air dan ruang angkasa tersebut;
|
|||||
b.
|
menentukan dan
mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan
ruang angkasa;
|
|||||
c.
|
menentukan dan
mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan
hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
|
|||||
(3)
|
Wewenang yang
bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut pada ayat (2) pasal ini
digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam arti
kebahagiaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum
Indonesia yang merdeka berdaulat, adil dan makmur.
|
|||||
(4)
|
Hak menguasai dari
Negara tersebut diatas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah
Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak
bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan
Peraturan Pemerintah.
|
|||||
Pasal
3.
|
||||||
Dengan mengingat
ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak
yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut
kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan
kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta
tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan lain
yang lebih tinggi.
|
||||||
Pasal
4.
|
||||||
(1)
|
Atas dasar hak
menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ditentukan adanya
macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan
kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan
orang-orang lain serta badan-badan hukum.
|
|||||
(2)
|
Hak-hak atas tanah
yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk mempergunakan
tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang
ada diatasnya, sekedar diperlukan untuk kepentingan, yang langsung berhubungan
dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut Undang-undang ini dan
peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi.
|
|||||
(3)
|
Selain hak-hak atas
tanah sebagai yang dimaksud dalam pasal (1) pasal ini ditentukan pula hak-hak
atas air dan ruang angkasa.
|
|||||
Pasal
5.
|
||||||
Hukum agraria yang
berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak
bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas
persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan
peraturan-peraturan, yang tercantum dalam Undang-undang ini dan dengan
peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur yang
bersandar pada hukum agama.
|
||||||
Pasal
6.
|
||||||
Semua hak atas
tanah mempunyai fungsi sosial.
|
||||||
Pasal
7.
|
||||||
Untuk tidak
merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui
batas tidak diperkenankan.
|
||||||
Pasal
8.
|
||||||
Atas dasar hak
menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 diatur pengambilan
kekayaan alam yang terkandung dalam bumi, air dan ruang angkasa.
|
||||||
Pasal
9.
|
||||||
(1)
|
Hanya warga-negara
Indonesia dapat mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan bumi, air dan ruang
angkasa, dalam batas-batas ketentuan pasal 1 dan 2.
|
|||||
(2)
|
Tiap-tiap
warga-negara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan
yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat
manfaat dan hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya.
|
|||||
Pasal
10.
|
||||||
(1)
|
Setiap orang dan
badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada azasnya
diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif, dengan
mencegah cara-cara pemerasan.
|
|||||
(2)
|
Pelaksanaan dari
pada ketentuan dalam ayat (1) pasal ini akan diatur lebih lanjut dengan
peraturan perundangan.
|
|||||
(3)
|
Pengecualian
terhadap azas tersebut pada ayat (1) pasal ini diatur dalam peraturan
perundangan.
|
|||||
Pasal
11.
|
||||||
(1)
|
Hubungan hukurn
antara orang, termasuk badan hukum, dengan bumi, air dan ruang angkasa serta
wewenang-wewenang yang bersumber pada hubungan hukum itu akan diatur, agar
tercapai tujuan yang disebut dalam pasal 2 ayat (3) dan dicegah penguasaan
atas kehidupan dan pekerjaan orang lain yang melampaui batas.
|
|||||
(2)
|
Perbedaan dalam
keadaan masyarakat dan keperluan hukum golongan rakyat dimana perlu dan tidak
bertentangan dengan kepentingan nasional diperhatikan, dengan menjamin
perlindungan terhadap kepentingan golongan yang ekonomis lemah.
|
|||||
Pasal
12.
|
||||||
(1)
|
Segala usaha
bersama dalam lapangan agraria didasarkan atas kepentingan bersama dalam
rangka kepentingan nasional dalam bentuk koperasi atau bentuk-bentuk
gotong-royong lainnya.
|
|||||
(2)
|
Negara dapat
bersama-sama dengan pihak lain menyelenggarakan usaha bersama dalam lapangan
agraria.
|
|||||
Pasal
13.
|
||||||
(1)
|
Pemerintah berusaha
agar supaya usaha-usaha dalam lapangan agraria diatur sedemikian rupa,
sehingga meninggikan produksi dan kemakmuran rakyat sebagai yang dimaksud
dalam pasal 2 ayat (3) serta menjamin bagi setiap warga-negara Indonesia
derajat hidup yang sesuai dengan martabat manusia, baik bagi diri sendiri
maupun keluarganya.
|
|||||
(2)
|
Pemerintah mencegah
adanya usaha-usaha dalam lapangan agraria dari organisasi-organisasi dan perseorangan
yang bersifat monopoli swasta.
|
|||||
(3)
|
Usaha-usaha
Pemerintah dalam lapangan agraria yang bersifat monopoli hanya dapat
diselenggarakan dengan Undang-undang.
|
|||||
(4)
|
Pemerintah berusaha
untuk memajukan kepastian dan jaminan sosial, termasuk bidang perburuhan,
dalam usaha-usaha dilapangan agraria.
|
|||||
Pasal
14.
|
||||||
(1)
|
Dengan mengingat
ketentuan-ketentuan dalam pasal 2 ayat (2) dan (3), pasal 9 ayat (2) serta
pasal 10 ayat (1) dan (2) Pemerintah dalam rangka sosialisme Indonesia,
membuat suatu rencana umum mengenai persediaan, peruntukan dan penggunaan
bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya:
|
|||||
a.
|
untuk keperluan
Negara;
|
|||||
b.
|
untuk keperluan
peribadatan dan keperluan suci lainnya, sesuai dengan dasar Ketuhanan Yang
Maha Esa;
|
|||||
c.
|
untuk keperluan
pusat-pusat kehidupan masyarakat, sosial, kebudayaan dan lain-lain
kesejahteraan;
|
|||||
d.
|
untuk keperluan
memperkembangkan produksi pertanian, peternakan dan perikanan serta sejalan
dengan itu;
|
|||||
e.
|
untuk keperluan
memperkembangkan industri, transmigrasi dan pertambangan.
|
|||||
(2)
|
Berdasarkan rencana
umum tersebut pada ayat (1) pasal ini dan mengingat peraturan-peraturan yang
bersangkutan, Pemerintah Daerah mengatur persediaan, peruntukan dan
penggunaan bumi, air serta ruang angkasa untuk daerahnya, sesuai dengan
keadaan daerah masing-masing.
|
|||||
(3)
|
Peraturan
Pemerintah Daerah yang dimaksud dalam ayat (2) pasal ini berlaku setelah
mendapat pengesahan, mengenai Daerah Tingkat I dari Presiden, Daerah Tingkat
II dari Gubernur Kepala Daerah yang bersangkutan dan Daerah Tingkat III dari
Bupati/Walikota/Kepala Daerah yang bersangkutan.
|
|||||
Pasal
15.
|
||||||
Memelihara tanah,
termasuk menambah kesuburannya serta mencegah kerusakannya adalah kewajiban
tiap-tiap orang, badan hukum atau instansi yang mempunyai hubungan hukum
dengan tanah itu, dengan memperhatikan pihak yang ekonomis lemah.
|
||||||
BAB
II
HAK-HAK ATAS TANAH, AIR DAN RUANG ANGKASA SERTA PENDAFTARAN TANAH. |
||||||
Bagian
1
Ketentuan-ketentuan umum. |
||||||
Pasal
16.
|
||||||
(1)
|
Hak-hak atas tanah
sebagai yang dimaksud dalam pasal ayat (1 ) ialah:
|
|||||
a.
|
hak milik,
|
|||||
b.
|
hak guna-usaha,
|
|||||
c.
|
hak guna-bangunan,
|
|||||
d.
|
hak pakai,
|
|||||
e.
|
hak sewa,
|
|||||
f.
|
hak membuka tanah,
|
|||||
g.
|
hak memungut-hasil
hutan,
|
|||||
h.
|
hak-hak lain yang
tidak termasuk dalam hak-hak tersebut diatas yang akan ditetapkan dengan
Undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan
dalam pasal 53.
|
|||||
(2)
|
Hak-hak atas air
dan ruang angkasa sebagai yang dimaksud dalam pasal 4 ayat (3) ialah:
|
|||||
a.
|
hak guna air,
|
|||||
b.
|
hak pemeliharaan
dan penangkapan ikan,
|
|||||
c.
|
hak guna ruang
angkasa.
|
|||||
Pasal
17.
|
||||||
(1)
|
Dengan mengingat
ketentuan dalam pasal 7 maka untuk mencapai tujuan yang dimaksud dalam pasal
2 ayat (3) diatur luas maksimum dan/atau minimum tanah yang boleh dipunyai
dengan sesuatu hak tersebut dalam pasal 16 oleh satu keluarga atau badan
hukum.
|
|||||
(2)
|
Penetapan batas
maksimum termaksud dalam ayat (1) pasal ini dilakukan dengan peraturan
perundangan didalam waktu yang singkat.
|
|||||
(3)
|
Tanah-tanah yang
merupakan kelebihan dari batas maksimum termaksud dalam ayat (2) pasal ini
diambil oleh Pemerintah dengan ganti kerugian, untuk selanjutnya dibagikan
kepada rakyat yang membutuhkan menurut ketentuan-ketentuan dalam Peraturan
Pemerintah.
|
|||||
(4)
|
Tercapainya batas
minimum termaksud dalam ayat (1) pasal ini, yang akan ditetapkan dengan
peraturan perundangan, dilaksanakan secara berangsur-angsur.
|
|||||
Pasal
18.
|
||||||
Untuk kepentingan
umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari
rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang
layak dan menurut cara yang diatur dengan Undang-undang.
|
||||||
Bagian
II.
Pendaftaran tanah. |
||||||
Pasal
19.
|
||||||
(1)
|
Untuk menjamin
kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah
Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
|
|||||
(2)
|
Pendaftaran
tersebut dalam ayat (1) pasal ini meliputi:
|
|||||
a.
|
pengukuran
perpetaan dan pembukuan tanah;
|
|||||
b.
|
pendaftaran hak-hak
atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut;
|
|||||
c.
|
pemberian
surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.
|
|||||
(3)
|
Pendaftaran tanah
diselenggarakan dengan mengingat keadaan Negara dan masyarakat, keperluan
lalu-lintas sosial-ekonomi serta kemungkinan penyelenggaraannya, menurut
pertimbangan Menteri Agraria.
|
|||||
(4)
|
Dalam Peraturan
Pemerintah diatur biaya-biaya yang bersangkutan dengan pendaftaran termaksud
dalam ayat (1) diatas, dengan ketentuan bahwa rakyat yang tidak mampu
dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya tersebut.
|
|||||
Bagian
III.
Hak
milik,
|
||||||
Pasal
20.
|
||||||
(1)
|
Hak milik adalah
hak turun-menurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah,
dengan mengingat ketentuan dalam pasal 6.
|
|||||
(2)
|
Hak milik dapat
beralih dan dialihkan kepada pihak lain.
|
|||||
Pasal
21.
|
||||||
(1)
|
Hanya warga-negara
Indonesia dapat mempunyai hak milik.
|
|||||
(2)
|
Oleh Pemerintah
ditetapkan badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik dan
syarat-syaratnya.
|
|||||
(3)
|
Orang asing yang
sesudah berlakunya Undang-undang ini memperoleh hak milik karena pewarisan
tanpa wasiat atau percampuran harta karena perkawinan, demikian pula
warga-negara Indonesia yang mempunyai hak milik dan setelah berlakunya
Undang-undang ini kehilangan kewarga-negaraannya wajib melepaskan hak itu
didalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau
hilangnya kewarga-negaraan itu. Jika sesudah jangka waktu tersebut lampau hak
milik itu dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh
pada Negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya
tetap berlangsung.
|
|||||
(4)
|
Selama seseorang
disamping kewarga-negaraan Indonesianya mempunyai kewarga-negaraan asing maka
ia tidak dapat mempunyai tanah dengan hak milik dan baginya berlaku ketentuan
dalam ayat (3) pasal ini.
|
|||||
Pasal
22.
|
||||||
(1)
|
Terjadinya hak
milik menurut hukum adat diatur dengan Peraturan Pemerintah.
|
|||||
(2)
|
Selain menurut cara
sebagai yang dimaksud dalam ayat (1 ) pasal ini hak milik terjadi karena :
|
|||||
a.
|
penetapan
Pemerintah, menurut cara dan syarat-syarat yang ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah;
|
|||||
b.
|
ketentuan
Undang-undang.
|
|||||
Pasal
23.
|
||||||
(1)
|
Hak milik, demikian
pula setiap peralihan, hapusnya dan pembebanannya dengan hak-hak lain harus
didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam pasal 19.
|
|||||
(2)
|
Pendaftaran
termaksud dalam ayat (1) merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai hapusnya
hak milik serta sahnya peralihan dan pembebanan hak tersebut.
|
|||||
Pasal
24.
|
||||||
Penggunaan tanah
milik oleh bukan pemiliknya dibatasi dan diatur dengan peraturan perundangan.
|
||||||
Pasal
25.
|
||||||
Hak milik dapat
dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan.
|
||||||
Pasal
26.
|
||||||
(1)
|
Jual-beli,
penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat, pemberian menurut adat dan
perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak milik serta
pengawasannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
|
|||||
(2)
|
Setiap jual-beli,
penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain
yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik
kepada orang asing, kepada seorang warga-negara yang disamping
kewarga-negaraan Indonesianya mempunyai kewarga-negaraan asing atau kepada
suatu badan hukum kecuali yang ditetapkan oleh Pemerintah termaksud dalam
pasal 21 ayat (2), adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada
Negara, dengan ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap
berlangsung serta semua pembayaran yang telah diterima oleh pemilik tidak
dapat dituntut kembali.
|
|||||
Pasal
27.
|
||||||
Hak milik hapus
bila:
|
||||||
a.
|
tanahnya jatuh
kepada Negara;
|
|||||
1.
|
karena pencabutan
hak berdasarkan pasal 18;
|
|||||
2.
|
karena penyerahan
dengan sukarela oleh pemiliknya;
|
|||||
3.
|
karena
diterlantarkan;
|
|||||
4.
|
karena ketentuan
pasal 21 ayat (3) dan 26 ayat (2),
|
|||||
b.
|
tanahnya musnah.
|
|||||
Bagian
IV.
Hak guna-usaha. |
||||||
Pasal
28.
|
||||||
(1)
|
Hak guna-usaha
adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, dalam
jangka waktu sebagaimana tersebut dalam pasal 29, guna perusahaan pertanian,
perikanan atau peternakan.
|
|||||
(2)
|
Hak guna-usaha
diberikan atas tanah yang luasnya paling sedikit 5 hektar, dengan ketentuan
bahwa jika luasnya 25 hektar atau lebih harus memakai investasi modal yang
layak dan tehnik perusahaan yang baik, sesuai dengan perkembangan zaman.
|
|||||
(3)
|
Hak guna-usaha
dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.
|
|||||
Pasal
29.
|
||||||
(1)
|
Hak guna-usaha
diberikan untuk waktu paling lama 25 tahun.
|
|||||
(2)
|
Untuk perusahaan
yang memerlukan waktu yang lebih lama dapat diberikan hak guna-usaha untuk
waktu paling lama 35 tahun.
|
|||||
(3)
|
Atas permintaan
pemegang hak dan mengingat keadaan perusahaannya jangka waktu yang dimaksud
dalam ayat (1) dan (2) pasal ini dapat diperpanjang dengan waktu yang paling
lama 25 tahun.
|
|||||
Pasal
30.
|
||||||
(1)
|
Yang dapat
mempunyai hak guna-usaha ialah:
|
|||||
a.
|
warga-negara
Indonesia;
|
|||||
b.
|
badan hukum yang
didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.
|
|||||
(2)
|
Orang atau badan
hukum yang mempunyai hak guna-usaha dan tidak lagi memenuhi syarat-syarat
sebagai yang tersebut dalam ayat (1) pasal ini dalam jangka waktu satu tahun
wajib melepaskan atau mengalihkan hak itu kepada pihak lain yang memenuhi
syarat. Ketentuan ini berlaku juga terhadap pihak yang memperoleh hak
guna-usaha, jika ia tidak memenuhi syarat tersebut. Jika hak
guna-usaha, yang bersangkutan tidak dilepaskan atau dialihkan dalam jangka
waktu tersebut maka hak itu hapus karena hukum, dengan ketentuan bahwa
hak-hak pihak lain akan diindahkan, menurut ketentuan-ketentuan yang
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
|
|||||
Pasal
31
|
||||||
Hak
guna-usaha terjadi karena penetapan Pemerintah.
|
||||||
Pasal
32.
|
||||||
(1)
|
Hak guna-usaha,
termasuk syarat-syarat pemberiannya, demikian juga setiap peralihan dan
penghapusan hak tersebut, harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang
dimaksud dalam pasal 19.
|
|||||
(2)
|
Pendaftaran
termaksud dalam ayat (1) merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai
peralihan serta hapusnya hak guna usaha, kecuali dalam hal hak itu hapus
karena jangka waktunya berakhir.
|
|||||
Pasal
33.
|
||||||
Hak guna-usaha
dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan.
|
||||||
Pasal
34.
|
||||||
Hak guna-usaha
hapus karena :
|
||||||
a.
|
jangka waktunya
berakhir;
|
|||||
b.
|
dihentikan sebelum
jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak dipenuhi;
|
|||||
c.
|
dilepaskan oleh
pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir;
|
|||||
d.
|
dicabut untuk
kepentingan umum;
|
|||||
e.
|
diterlantarkan;
|
|||||
f.
|
tanahnya musnah;
|
|||||
g.
|
ketentuan dalam
pasal 30 ayat (2).
|
|||||
Bagian
V.
Hak guna-bangunan. |
||||||
Pasal
35.
|
||||||
(1)
|
Hak guna-bangunan
adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang
bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun.
|
|||||
(2)
|
Atas permintaan
pemegang hak dan dengan mengingat keperluan serta keadaan bangunan-bangunannya,
jangka waktu tersebut dalam ayat (1) dapat diperpanjang dengan waktu paling
lama 20 tahun.
|
|||||
(3)
|
Hak guna-bangunan
dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.
|
|||||
Pasal
36.
|
||||||
(1)
|
Yang dapat
mempunyai hak guna-bangunan ialah :
|
|||||
a.
|
warga-negara
Indonesia;
|
|||||
b.
|
badan hukum yang
didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.
|
|||||
(2)
|
Orang atau badan
hukum yang mempunyai hak guna-bangunan dan tidak lagi memenuhi syarat-syarat
yang tersebut dalam ayat (1) pasal ini dalam jangka waktu 1 tahun wajib
melepaskan atau mengalihkan hak itu kepada pihak lain yang memenuhi syarat.
Ketentuan ini berlaku juga terhadap pihak yang memperoleh hak guna-bangunan,
jika ia tidak memenuhi syarat-syarat tersebut.
|
|||||
Jika hak
guna-bangunan yang bersangkutan tidak dilepaskan atau dialihkan dalam jangka
waktu tersebut, maka hak itu karena hukum, dengan ketentuan, bahwa hak-hak
pihak lain akan diindahkan, menurut ketentuan-ketentuan yang ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah.
|
||||||
Pasal
37.
|
||||||
Hak guna-nungunan
terjadi:
|
||||||
a.
|
mengenai tanah yang
dikuasai langsung oleh Negara; karena penetapan Pemerintah;
|
|||||
b.
|
mengenai tanah
milik; karena perjanjian yang berbentuk otentik antara pemilik tanah yang
bersangkutan dengan pihak yang akan memperoleh hak guna-bangunan itu, yang
bermaksud menimbulkan hak tersebut.
|
|||||
Pasal
38.
|
||||||
(1)
|
Hak guna-bangunan,
termasuk syarat-syarat pemberiannya, demikian juga setiap peralihan dan
hapusnya hak tersebut harus; didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang
dimaksud dalam pasal 19.
|
|||||
(2)
|
Pendaftaran
termaksud dalam ayat (1) merupakan pembuktian yang kuat mengenai hapusnya hak
guna-bangunan serta sahnya peralihan hak tersebut, kecuali dalam hal hak
hapus karena jangka waktunya berakhir.
|
|||||
Pasal
39.
|
||||||
Hak guna-bangunan
dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan.
|
||||||
Pasal
40.
|
||||||
Hak guna-bangunan
hapus karena :
|
||||||
a.
|
jangka waktunya
berakhir;
|
|||||
b.
|
dihentikan sebelum
jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak dipenuhi;
|
|||||
c.
|
dilepaskan oleh
pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir;
|
|||||
d.
|
dicabut untuk kepentingan
umum;
|
|||||
e.
|
diterlantarkan;
|
|||||
f.
|
tanahnya musnah;
|
|||||
g.
|
ketentuan dalam
pasal 36 ayat (2).
|
|||||
Bagian
VI.
Hak
pakai,
|
||||||
Pasal
41.
|
||||||
(1)
|
Hak pakai adalah
hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai
langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan
kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang
berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang
bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala
sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan
Undang-undang ini.
|
|||||
(2)
|
Hak pakai dapat
diberikan:
|
|||||
a.
|
selama jangka waktu
yang tertentu atau selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan yang
tertentu;
|
|||||
b.
|
dengan cuma-cuma,
dengan pembayaran atau pemberian jasa berupa apapun.
|
|||||
(3)
|
Pemberian hak pakai
tidak boleh disertai syarat-syarat yang mengandung unsur-unsur pemerasan.
|
|||||
Pasal
42.
|
||||||
Yang dapat
mempunyai hak pakai ialah :
|
||||||
a.
|
warga-negara Indonesia;
|
|||||
b.
|
orang asing yang
berkedudukan di Indonesia;
|
|||||
c.
|
badan hukum yang
didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia;
|
|||||
d.
|
badan hukum asing
yang mempunyai perwakilan di Indonesia.
|
|||||
Pasal
43
|
||||||
(1)
|
Sepanjang mengenai
tanah yang dikuasai langsung oleh Negara maka hak pakai hanya dapat dialihkan
kepada pihak lain dengan izin pejabat yang berwenang.
|
|||||
(2)
|
Hak pakai atas
tanah-milik hanya dapat dialihkan kepada pihak lain, jika hal itu
dimungkinkan dalam perjanjian yang bersangkutan.
|
|||||
Bagian
VII.
Hak sewa untuk bangunan. |
||||||
Pasal
44.
|
||||||
(1)
|
Seseorang atau
suatu badan hukum mempunyai hak sewa atas tanah, apabila ia berhak
mempergunakan tanah-milik orang lain untuk keperluan bangunan, dengan
membayar kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai sewa.
|
|||||
(2)
|
Pembayaran uang
sewa dapat dilakukan :
|
|||||
a.
|
satu kali atau pada
tiap-tiap waktu tertentu;
|
|||||
b.
|
sebelum atau
sesudah tanahnya dipergunakan.
|
|||||
(3)
|
Perjanjian sewa
tanah yang dimaksudkan dalam pasal ini tidak boleh disertai syarat-syarat
yang mengandung unsur-unsur pemerasan.
|
|||||
Pasal
45.
|
||||||
Yang dapat menjadi
pemegang hak sewa ialah :
|
||||||
a.
|
warga-negara
Indonesia;
|
|||||
b.
|
orang asing yang
berkedudukan di Indonesia;
|
|||||
c.
|
badan hukum yang
didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia;
|
|||||
d.
|
badan hukum asing
yang mempunyai perwakilan di Indonesia.
|
|||||
Bagian
VIII.
Hak membuka tanah dan memungut hasil hutan. |
||||||
Pasal
46.
|
||||||
(1)
|
Hak membuka tanah
dan memungut hasil hutan hanya dapat dipunyai oleh warga-negara Indonesia dan
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
|
|||||
(2)
|
Dengan
mempergunakan hak memungut hasil hutan secara sah tidak dengan sendirinya
diperoleh hak milik atas tanah itu.
|
|||||
Bagian
IX.
Hak guna air, pemeliharaan dan penangkapan ikan. |
||||||
Pasal
47.
|
||||||
(1)
|
Hak guna air ialah
hak memperoleh air untuk keperluan tertentu dan/atau mengalirkan air itu
diatas tanah orang lain.
|
|||||
(2)
|
Hak guna-air serta
pemeliharaan dan penangkapan ikan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
|
|||||
Bagian
X.
Hak guna ruang angkasa. |
||||||
Pasal
48.
|
||||||
(1)
|
Hak guna ruang
angkasa memberi wewenang untuk mempergunakan tenaga dan unsur-unsur dalam
ruang angkasa guna usaha-usaha memelihara dan memperkembangkan kesuburan
bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya dan hal-hal lain
yang bersangkutan dengan itu.
|
|||||
(2)
|
Hak guna ruang
angkasa diatur dengan Peraturan Pemerintah.
|
|||||
Bagian
XI
Hak-hak tanah untuk keperluan suci dan sosial. |
||||||
Pasal
49.
|
||||||
(1)
|
Hak milik tanah
badan-badan keagamaan dan sosial sepanjang dipergunakan untuk usaha dalam
bidang keagamaan dan sosial, diakui dan dilindungi. Badan-badan tersebut
dijamin pula akan memperoleh tanah yang cukup untuk bangunan dan usahanya
dalam bidang keagamaan dan sosial.
|
|||||
(2)
|
Untuk keperluan
peribadatan dan keperluan suci lainnya sebagai dimaksud dalam pasal 14 dapat
diberikan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara dengan hak pakai.
|
|||||
(3)
|
Perwakilan tanah
milik dilindungi dan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
|
|||||
Bagian
XII.
Ketentuan-ketentuan lain. |
||||||
Pasal
50.
|
||||||
(1)
|
Ketentuan-ketentuan
lebih lanjut mengenai hak milik diatur dengan Undang-undang.
|
|||||
(2)
|
Ketentuan-ketentuan
lebih lanjut mengenai hak guna-usaha, hak guna-bangunan, hak pakai dan hak
sewa untuk bangunan diatur dengan peraturan perundangan.
|
|||||
Pasal
51.
|
||||||
Hak tanggungan yang
dapat dibebankan pada hak milik, hak guna-usaha dan hak guna-bangunan
tersebut dalam pasal 25, 33 dan 39 diatur dengan Undang-undang.
|
||||||
BAB
III
KETENTUAN PIDANA. |
||||||
Pasal
52.
|
||||||
(1)
|
Barangsiapa dengan
sengaja melanggar ketentuan dalam pasal 15 dipidana dengan hukuman kurungan
selama-lamanya 3 bulan dan/atau denda setinggi-tingginya Rp. 10.000;
|
|||||
(2)
|
Peraturan
Pemerintah dan peraturan perundangan yang dimaksud dalam pasal 19, 22, 24,
26, ayat (1), 46, 47, 48, 49, ayat (3) dan 50 ayat (2) dapat memberikan
ancaman pidana atas pelanggaran peraturannya dengan hukuman kurungan
selama-lamanya 3 bulan dan/atau denda setinggi-tingginya Rp. 10.000,-.
|
|||||
(3)
|
Tindak pidana dalam
ayat (1) dan (2) pasal ini adalah pelanggaran.
|
|||||
BAB
IV
KETENTUAN-KETENTUAN PERALIHAN. |
||||||
Pasal
53.
|
||||||
(1)
|
Hak-hak yang
sifatnya sementara sebagai yang dimaksud dalam pasal 16 ayat (1) huruf h,
ialah hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan hak sewa tanah
pertanian diatur untuk membatasi sifat-sifatnya yang bertentangan dengan
Undang-undang ini dan hak-hak tersebut diusahakan hapusnya didalam waktu yang
singkat.
|
|||||
(2)
|
Ketentuan dalam
pasal 52 ayat (2) dan (3) berlaku terhadap peraturan-peraturan yang dimaksud
dalam ayat (1) pasal ini.
|
|||||
Pasal
54.
|
||||||
Berhubung dengan
ketentuan-ketentuan dalam pasal 21 dan 26, maka jika seseorang yang disamping
kewarga-negaraan Indonesianya mempunyai kewarga-negaraan Republik Rakyat
Tiongkok, telah menyatakan menolak kewarga-negaraan Republik Rakyat Tiongkok
itu yang disahkan menurut peraturan perundangan yang bersangkutan, ia
dianggap hanya berkewarga-negaraan Indonesia saja menurut pasal 21 ayat (1).
|
||||||
Pasal
55.
|
||||||
(1)
|
Hak-hak asing yang
menurut ketentuan konversi pasal I, II, III, IV dan V dijadikan hak
usaha-usaha dan hak guna-bangunan hanya berlaku untuk sementara selama sisa
waktu hak-hak tersebut, dengan jangka waktu paling lama 20 tahun.
|
|||||
(2)
|
Hak guna-usaha dan
hak guna-bangunan hanya terbuka kemungkinannya untuk diberikan kepada
badan-badan hukum yang untuk sebagian atau seluruhnya bermodal asing, jika
hal itu diperlukan oleh Undang-undang yang mengatur pembangunan nasional
semesta berencana.
|
|||||
Pasal
56.
|
||||||
Selama
Undang-undang mengenai hak milik sebagai tersebut dalam pasal 50 ayat (1)
belum terbentuk, maka yang berlaku adalah ketentuan-ketentuan hukum adat
setempat dan peraturan-peraturan lainnya mengenai hak-hak atas tanah yang
memberi wewenang sebagaimana atau mirip dengan yang dimaksud dalam pasal 20,
sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan
Undang-undang ini.
|
||||||
Pasal
57.
|
||||||
Selama
Undang-undang mengenai hak tanggungan tersebut dalam pasal 51 belum
terbentuk, maka yang berlaku ialah ketentuan-ketentuan mengenai hypotheek
tersebut dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia dan Credietverband
tersebut dalam Staatsblad 1908 No. 542 sebagai yang telah diubah dengan
Staatsblad 1937 No. 190.
|
||||||
Pasal
58.
|
||||||
Selama
peraturan-peraturan pelaksanaan Undang-undang ini belum terbentuk, maka
peraturan-peraturan baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis mengenai
bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya dan hak-hak atas tanah,
yang ada pada mulai berlakunya Undang-undang ini, tetap berlaku sepanjang
tidak bertentangan dengan jiwa dari ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang
ini serta diberi tafsiran yang dengan itu.
|
||||||
KEDUA.
KETENTUAN-KETENTUAN KONVERSI. |
||||||
Pasal
I.
|
||||||
(1)
|
Hak eigendom atas
tanah yang ada pada mulai berlakunya Undang-undang ini sejak saat tersebut
menjadi hak milik, kecuali jika yang mempunyainya tidak memenuhi syarat
sebagai yang tersebut dalam pasal 21.
|
|||||
(2)
|
Hak eigendom
kepunyaan Pemerintah Negara Asing dipergunakan untuk keperluan rumah
kediaman Kepala Perwakilan dan gedung kedutaan, sejak mulai berlakunya
Undang-undang ini menjadi hak pakai tersebut dalam pasal 41 ayat (1), yang
akan berlangsung selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tersebut
diatas.
|
|||||
(3)
|
Hak eigendom
kepunyaan orang asing, seorang warga-negara yang disamping kewarga-negaraan
Indonesianya mempunyai kewarga-negaraan asing dan badan-badan hukum, yang
tidak ditunjuk oleh Pemerintah sebagai dimaksud dalam pasal 21 ayat (2) sejak
mulai berlakunya Undang-undang ini menjadi hak guna-bangunan tersebut dalam
pasal 35 ayat (1), dengan jangka waktu 20 tahun.
|
|||||
(4)
|
Jika hak eigendom
tersebut dalam ayat (1) pasal ini dibebani dengan hak opstal atau hak
erfpacht, maka hak opstal dan hak erfpacht itu sejak mulai berlakunya
Undang-undang ini menjadi hak guna bangunan tersebut dalam pasal 35 ayat 1,
yang membebani hak milik yang bersangkutan selama sisa waktu hak opstal atau
hak erfpacht tersebut diatas, tetapi selama-lamanya 20 tahun.
|
|||||
(5)
|
Jika hak eigendom
tersebut dalam ayat (3) pasal ini dibebani dengan hak opstal atau hak
erfpahct, maka hubungan antara yang mempunyai hak eigendom tersebut dan
pemegang hak-hak opstal atau hak erfpacht selanjutnya diselesaikan menurut
pedoman yang ditetapkan oleh Menteri Agraria.
|
|||||
(6)
|
Hak-hak hypotheek,
servituu, vruchtengebruik dan hak-hak lain yang membebani hak eigendom tetap
membebani hak milik dan hak guna-bangunan tersebut dalam ayat (1) dan (3)
pasal ini, sedang hak-hak tersebut menjadi suatu hak menurut Undang-undang
ini.
|
|||||
Pasal
II.
|
||||||
(1)
|
Hak-hak atas tanah
yang memberi wewenang sebagaimana atau mirip dengan hak yang dimaksud dalam
pasal 20 ayat (I) seperti yang disebut dengan nama sebagai dibawah, yang ada
pada mulai berlakunya. Undang-undang ini, yaitu : hak agrarisch eigendom,
milik, yasan, andarbeni, hak atas druwe, hak atas druwe desa, pesini, grand
Sultan, landerinjbezitrecht, altijddurende erfpacht, hak usaha atas bekas
tanah partikelir dan hak-hak lain dengan nama apapun juga yang akan
ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agraria, sejak mulai berlakunya
Undang-undang ini menjadi hak milik tersebut dalam pasal 20 ayat (1), kecuali
jika yang mempunyainya tidak memenuhi syarat sebagai yang tersebut dalam
pasal 21.
|
|||||
(2)
|
Hak-hak tersebut
dalam ayat (1) kepunyaan orang asing, warga-negara yang disamping
kewarga-negaraan Indonesianya mempunyai kewarga-negaraan asing dan badan
hukum yang tidak ditunjuk oleh Pemerintah sebagai yang dimaksud dalam pasal
21 ayat (2) menjadi hak guna-usaha atau hak guna-bangunan sesuai dengan
peruntukan tanahnya, sebagai yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri
Agraria.
|
|||||
Pasal
III.
|
||||||
(1)
|
Hak erfpacht untuk
perusahaan kebun besar, yang ada pada mulai berlakunya Undang-undang ini,
sejak saat tersebut menjadi hak guna-usaha tersebut dalam pasal 28 ayat (1)
yang akan berlangsung selama sisa waktu hak erfpacht tersebut, tetapi
selama-lamanya 20 tahun.
|
|||||
(2)
|
Hak erfpacht untuk
pertanian kecil yang ada pada mulai berlakunya Undang-undang ini, sejak saat
tersebut hapus, dan selanjutnya diselesaikan menurut ketentuan-ketentuan yang
diadakan oleh Menteri Agraria.
|
|||||
Pasal
IV.
|
||||||
(1)
|
Pemegang concessie
dan sewa untuk perusahaan kebun besar dalam jangka waktu satu tahun sejak
mulai berlakunya Undang-undang ini harus mengajukan permintaan kepada Menteri
Agraria agar haknya diubah menjadi hak guna-usaha.
|
|||||
(2)
|
Jika sesudah jangka
waktu tersebut lampau permintaan itu tidak diajukan, maka concessie dan sewa
yang bersangkutan berlangsung terus selama sisa waktunya, tetapi paling lama
lima tahun dan sesudah itu berakhir dengan sendirinya.
|
|||||
(3)
|
Jika pemegang
concessie atau sewa mengajukan permintaan termaksud dalam ayat (1) pasal ini
tetapi tidak bersedia menerima syarat-syarat yang ditentukan oleh Menteri
Agraria, ataupun permintaannya itu ditolak oleh Menteri Agraria, maka
concessie atau sewa itu berlangsung terus selama sisa waktunya, tetapi paling
lama lima tahun dan sesudah itu berakhir dengan sendirinya.
|
|||||
Pasal
V
|
||||||
Hak opstal dan hak
erfpacht untuk perumahan, yang ada pada mulai berlakunya Undang-undang ini,
sejak saat tersebut menjadi hak guna-bangunan tersebut dalam pasal 35 ayat
(1) yang berlangsung selama sisa waktu hak opstal dan hak erfpacht tersebut
tetapi selama-lamanya 20 tahun.
|
||||||
Pasal
VI.
|
||||||
Hak-hak atas tanah
yang memberi wewenang sebagaimana atau mirip dengan hak yang dimaksud dalam
pasal 41 ayat (1) seperti yang disebut dengan nama sebagai dibawah, yang ada
pada mulai berlakunya Undang-undang ini, yaitu : hak vruchtgebruik, gebruik,
grant controleur, bruikleen, ganggam bauntuik, anggaduh, bengkok, lungguh,
pituwas, dan hak-hak lain dengan nama apapun juga, yang akan ditegaskan lebih
lanjut oleh Menteri Agraria, sejak mulai berlakunya Undang-undang ini menjadi
hak pakai tersebut dalam pasal 41 ayat (1) yang memberi wewenang dan
kewajiban sebagaimana yang dipunyai oleh pemegang haknya pada mulai
berlakunya Undang-undang ini, sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan
ketentuan-ketentuan Undang-undang ini.
|
||||||
Pasal
VII.
|
||||||
(1)
|
Hak gogolan,
pekulen atau sanggan yang bersifat tetap yang ada pada mulai berlakunya
Undang-undang ini menjadi hak milik tersebut pada pasal 20 ayat (1).
|
|||||
(2)
|
Hak gogolan,
pekulen atau sanggan yang tidak bersifat tetap menjadi hak pakai tersebut
pada pasal 41 ayat (1) yang memberi wewenang dan kewajiban sebagai yang dipunyai
oleh pemegang haknya pada mulai berlakunya Undang-undang ini.
|
|||||
(3)
|
Jika ada
keragu-raguan apakah sesuatu hak gogolan, pekulen atau sanggan bersifat tetap
atau tidak tetap, maka Menter Agrarialah yang memutuskan.
|
|||||
Pasal
VIII.
|
||||||
(1)
|
Terhadap hak
guna-bangunan tersebut pada pasal I ayat (3) dan (4), pasal II ayat (2) dan V
berlaku ketentuan dalam pasal 36 ayat (2).
|
|||||
(2)
|
Terhadap hak
guna-usaha tersebut pada pasal II ayat (2), pasal III ayat (1) dan (2) pasal
IV ayat (1) berlaku ketentuan dalam pasal 30 ayat (2).
|
|||||
Pasal
IX.
|
||||||
Hal-hal yang perlu
untuk menyelenggarakan ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal diatas diatur
lebih lanjut oleh Menteri Agraria.
|
||||||
KETIGA.
|
||||||
Perubahan susunan
pemerintahan desa untuk menyelenggarakan perombakan hukum agraria menurut
Undang-undang ini akan diatur tersendiri.
|
||||||
KEEMPAT.
|
||||||
A.
|
Hak-hak dan
wewenang-wewenang atas bumi dan air dari Swapraja atau bekas Swapraja yang
masih ada pada waktu mulai berlakunya Undang-undang ini hapus dan beralih
kepada Negara.
|
|||||
B.
|
Hal-hal yang
bersangkutan dengan ketentuan dalam huruf A diatas diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.
|
|||||
KELIMA
|
||||||
Undang-undang ini
dapat disebut Undang-undang Pokok Agraria dan mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
|
||||||
Agar supaya setiap
orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini
dengan penempatan dalam Lembaran-Negara Republik Indonesia.
|
||||||
Disahkan di Jakarta
|
||||||
pada tanggal 24
September 1960.
|
||||||
Presiden Republik
Indonesia,
|
||||||
SUKARNO.
|
||||||
Diundangkan
|
||||||
pada
tanggal 24 September 1960.
|
||||||
Sekretaris
Negara,
|
||||||
TAMZIL
|
||||||
LEMBARAN
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1960 NOMOR 104
|
||||||