cara pembagian daging kurban
Pemilik
hewan kurban berhak mendapatkannya dan memakannya. Hal ini berdasarkan perintah
dari Allah Ta’ala sendiri:
فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا
الْبَائِسَ الْفَقِيرَ
“.. Maka makanlah sebahagian
daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang
sengsara dan fakir.” (QS. Al Hajj (22): 28)
Ayat
ini menunjukkan bahwa pemilik hewan kurban berhak memakannya, lalu dibagikan
untuk orang sengsara dan faqir, mereka adalah pihak yang lebih utama untuk
mendapatkannya. Selain mereka pun boleh mendapatkannya, walau bukan prioritas.
Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah
memaparkan cara pembagian sebagai berikut:
للمهدي أن يأكل من هديه الذي يباح له
الاكل منه أي مقدار يشاء أن يأكله، بلا تحديد، وله كذلك أن يهدي أو يتصدق بما
يراه. وقيل: يأكل النصف، ويتصدق بالنصف .وقيل: يقسمه أثلاثا، فيأكل الثلث، ويهدي
الثلث، ويتصدق بالثلث.
“Si pemilik hewan kurban dibolehkan makan bagian yang dibolehkan baginya sesuai keinginannya tanpa batas. Dia pun boleh menghadiahkan atau menyedekahkan sesuka hatinya. Ada pula yang mengatakan dia boleh memakannya setengah dan menyedekahkan setengah. Dan dikatakan: dibagi tiga bagian, untuknya adalah sepertiga, dihadiahkan sepertiga, dan disedekahkan sepertiga.”
Bolehkah
Berqurban Untuk Orang Yang Sudah Wafat?
Imam Al Bahuti mengatakan:
قَالَ أَحْمَدُ : الْمَيِّتُ يَصِلُ
إلَيْهِ كُلُّ شَيْءٍ مِنْ الْخَيْرِ مِنْ صَدَقَةٍ أَوْ صَلَاةٍ أَوْ غَيْرِهِ
لِلْأَخْبَارِ .
Imam Ahmad berkata: bahwa semua bentuk amal shalih dapat sampai kepada mayit baik berupa doa, sedekah, dan amal shalih lainnya, karena adanya riwayat tentang itu.
Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah
mengatakan:
الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
. لَيْسَ فِي الْآيَةِ وَلَا فِي الْحَدِيثِ أَنَّ الْمَيِّتَ لَا يَنْتَفِعُ
بِدُعَاءِ الْخَلْقِ لَهُ وَبِمَا يُعْمَلُ عَنْهُ مِنْ الْبِرِّ بَلْ أَئِمَّةُ
الْإِسْلَامِ مُتَّفِقُونَ عَلَى انْتِفَاعِ الْمَيِّتِ بِذَلِكَ وَهَذَا مِمَّا
يُعْلَمُ بِالِاضْطِرَارِ مِنْ دِينِ الْإِسْلَامِ وَقَدْ دَلَّ عَلَيْهِ
الْكِتَابُ وَالسُّنَّةُ وَالْإِجْمَاعُ فَمَنْ خَالَفَ ذَلِكَ كَانَ مِنْ أَهْلِ
الْبِدَعِ .
“Segala puji bagi Allah. Tidak ada dalam ayat, dan tidak pula dalam hadits, yang mengatakan bahwa ‘Tidak Bermanfaat’ doa seorang hamba bagi mayit, dan juga amal perbuatan yang diperuntukkannya berupa amal kebaikan, bahkan para imam Islam sepakat hal itu bermanfaat bagi mayit, hal ini sudah ketahui secara pasti dalam agama Islam, hal itu telah ditunjukkan oleh Al Quran, As Sunnah, dan ijma’. Barang siapa yang menyelesihinya, maka dia adalah ahli bid’ah.”
Beliau juga berkata:
وَالْأَئِمَّةُ اتَّفَقُوا عَلَى
أَنَّ الصَّدَقَةَ تَصِلُ إلَى الْمَيِّتِ وَكَذَلِكَ الْعِبَادَاتُ الْمَالِيَّةُ
: كَالْعِتْقِ
“Para imam telah sepakat bahwa sedekah akan sampai kepada mayit, demikian juga ibadah maaliyah (harta), seperti membebaskan budak.”
Dan, qurban termasuk ibadah maaliyah
Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah
mengatakan:
أَيَّ قُرْبَةٍ فَعَلَهَا
الإِْنْسَانُ وَجَعَل ثَوَابَهَا لِلْمَيِّتِ الْمُسْلِمِ نَفَعَهُ ذَلِكَ إِنْ
شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى : كَالدُّعَاءِ وَالاِسْتِغْفَارِ ، وَالصَّدَقَةِ
وَالْوَاجِبَاتِ الَّتِي تَدْخُلُهَا النِّيَابَةُ
“Amal apa pun demi mendekatkan diri kepada Allah yang dilakukan oleh manusia dan menjadikan pahalanya untuk mayit seorang muslim, maka hal itu membawa manfaat bagi mayit itu, Insya Allah, seperti: doa, istighfar, sedekah, dan berbagai kewajiban yang bisa diwakilkan.”
Kelompok yang membolehkan berdalil:
- Diqiyaskan dengan amalan orang
hidup yang sampai kepada orang yang sudah wafat, seperti doa, sedekah, dan
haji.
- Ibadah maaliyah (harta)
bisa diniatkan untuk orang yang sudah wafat seperti sedekah, dan berqurban
jelas-jelas ibadah maaliyah.
- Hadits Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam mengisyaratkan bahwa qurban untuk orang yang sudah
wafat adalah boleh dan pahalanya sampai, Insya Allah.
Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha:
قَالَ بِاسْمِ اللَّهِ اللَّهُمَّ
تَقَبَّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ وَمِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ ثُمَّ ضَحَّى
بِهِ
‘Nabi mengucapkan: “Bismillahi Allahumma taqabbal min Muhammadin wa min ummati Muhamamdin (Dengan Nama Allah, Ya Allah terimalah Kurban dari Muhammad dan umat Muhammad),” lalu beliau pun menyembelih.”
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam mendoakan agar qurban dari Beliau, dan umatnya diterima Allah Ta’ala.
Hadits ini menyebut “umat Muhammad” secara umum, tidak dikhususkan untuk yang
masih hidup saja. Sebab, “umat Muhammad” ada yang masih hidup dan yang sudah
wafat.
Sebenarnya, telah terjadi perbedaan
pandangan para ulama tentang berqurban untuk orang yang sudah wafat. Berikut
ini rinciannya:
إِذَا أَوْصَى الْمَيِّتُ
بِالتَّضْحِيَةِ عَنْهُ ، أَوْ وَقَفَ وَقْفًا لِذَلِكَ جَازَ بِالاِتِّفَاقِ .
فَإِنْ كَانَتْ وَاجِبَةً بِالنَّذْرِ وَغَيْرِهِ وَجَبَ عَلَى الْوَارِثِ
إِنْفَاذُ ذَلِكَ . أَمَّا إِذَا لَمْ يُوصِ بِهَا فَأَرَادَ الْوَارِثُ أَوْ
غَيْرُهُ أَنْ يُضَحِّيَ عَنْهُ مِنْ مَال نَفْسِهِ ، فَذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ
وَالْمَالِكِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ إِلَى جَوَازِ التَّضْحِيَةِ عَنْهُ ، إِلاَّ
أَنَّ الْمَالِكِيَّةَ أَجَازُوا ذَلِكَ مَعَ الْكَرَاهَةِ . وَإِنَّمَا
أَجَازُوهُ لأَِنَّ الْمَوْتَ لاَ يَمْنَعُ التَّقَرُّبَ عَنِ الْمَيِّتِ كَمَا
فِي الصَّدَقَةِ وَالْحَجِّ .
وَقَدْ صَحَّ أَنَّ رَسُول اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ضَحَّى بِكَبْشَيْنِ أَحَدُهُمَا عَنْ نَفْسِهِ
، وَالآْخَرُ عَمَّنْ لَمْ يُضَحِّ مِنْ أُمَّتِهِ . وَعَلَى هَذَا لَوِ
اشْتَرَكَ سَبْعَةٌ فِي بَدَنَةٍ فَمَاتَ أَحَدُهُمْ قَبْل الذَّبْحِ ، فَقَال
وَرَثَتُهُ – وَكَانُوا بَالِغِينَ – اذْبَحُوا عَنْهُ ، جَازَ ذَلِكَ . وَذَهَبَ
الشَّافِعِيَّةُ إِلَى أَنَّ الذَّبْحَ عَنِ الْمَيِّتِ لاَ يَجُوزُ بِغَيْرِ
وَصِيَّةٍ أَوْ وَقْفٍ .
Jika
seseorang berwasiat untuk berkurban atau berwaqaf untuk itu, maka dibolehkan
berkurban baginya menurut kesepakatan ulama. Jika dia memiliki kewajiban karena
nazar atau selainnya, maka ahli warisnya wajib melaksanakannya. Ada pun jika
dia tidak berwasiat, dan ahli waris dan selainnya nya hendak berkurban untuknya
dari hartanya sendiri, maka menurut Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah,
membolehkan berkurban untuknya, hanya saja Malikiyah membolehkan dengan
kemakruhan. Mereka membolehkan karena kematian tidaklah membuat mayit terhalang
mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala sebagaimana sedekah dan haji.
Telah shahih bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkurban dengan dua kambing kibas, satu untuk dirinya dan satu untuk umatnya yang belum berkurban. Atas dasar ini, seandainya tujuh orang berpartisipasi dalam kurban Unta, lalu salah seorang ada yang wafat sebelum penyembelihan. Lalu ahli warisnya mengatakan –dan mereka sudah baligh- : sembelihlah untuknya, maka itu boleh. Sedangkan kalangan Syafi’iyah berpendapat tidak boleh berkurban untuk mayit tanpa diwasiatkan dan waqaf.
Syarat dan ketentuan pembagian
daging kurban adalah sebagai berikut :
- Orang yang berkurban harus
mampu menyediakan hewan sembelihan dengan cara halal tanpa berutang.
- Kurban harus binatang ternak,
seperti unta, sapi, kambing, atau biri-biri.
- Binatang yang akan disembelih
tidak memiliki cacat, tidak buta, tidak pincang, tidak sakit, dan kuping
serta ekor harus utuh.
- Hewan kurban telah cukup umur,
yaitu unta berumur 5 tahun atau lebih, sapi atau kerbau telah berumur 2
tahun, dan domba atau kambing berumur lebih dari 1 tahun.
- Orang yang melakukan kurban
hendaklah yang merdeka (bukan budak), baligh, dan berakal.
- Daging hewan kurban dibagi
tiga, 1/3 untuk dimakan oleh yang berkurban, 1/3 disedekahkan, dan 1/3
bagian dihadiahkan kepada orang lain
Pertanyaan :
Assalamu 'alaikum wr. wb.
Ustadz yang dirahmati Allah.
Saya ingin menyampaikan sebuah pertanyaan sederhana, namun buat saya cukup
penting. Bila ada orang yang cukup berada dan lebih dari mampu dari sisi
finansial, namun tidak menyembelih hewan qurban di hari Raya Idul Adha, apakah
dia salah dan berdosa?
Mohon dijelaskan dengan disertai dengan dalil-dalilnya. Terima kasih banyak
sebelumnya.
Wassalam
Jawaban :
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Meski nampak sederhana namun pertanyaan Anda ini cukup penting untuk kita
bahas. Sebab di balik eforia orang menjelang Hari Raya Idul Adha yang sibuk
mengurus dan menyembelih hewan qurban, banyak juga yang tidak terlalu mendalami
hukum fiqih di balik itu.
Sampai ada yang beranggapan bahwa menyembelih hewan qurban itu hukumnya wajib.
Sehingga bila sampai tidak dilaksanakan seolah-olah berdosa besar. Meskipun
pendapat yang yang mewajibkan ini tidak terlalu salah, namun sebenarnya
mayoritas ulama (jumhur) tidak mewajibkannya, meskipun seseorang terbilang
cukup berada dari sisi finansial.
Lalu apa hukumnya sebagaimana yang dipahami oleh para fuqaha berdasarkan
dalil-dalil dari Al-Quran dan As-Sunnah?
Hukum Menyembelih Hewan Qurban
Setidaknya secara umum hukumnya berkisar pada dua hal, yaitu antara sunnah dan
wajib.
A. Sunnah
Umumnya para ulama (jumhur), yaitu mazhab Al-Malikiyah, Asy-syafi'iyah dan
Al-Hanabilah berpendapat bahwa hukum menyembelih hewan qurban bukan merupakan
kewajiban, melainkan hukumnya sunnah.
1. Dalil
Kenapa hukumnya menjadi sunnah?
Jawabnya karena ada banyak dalil yang menunjukkan bahwa
jenis ibadah ini memang sunnah. Di antaranya adalah hadits-hdits berikt ini:
a. Hadits Rasulullah SAW :
إِذَا
دَخَل الْعَشْرُ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلاَ يَمَسَّ مِنْ شَعْرِهِ
وَلاَ مِنْ بَشَرِهِ شَيْئًا
Bila telah memasuki 10 (hari bulan Zulhijjah) dan
seseorang ingin berqurban, maka janganlah dia ganggu rambut qurbannya dan
kuku-kukunya. (HR. Muslim dan lainnya)
Dalam hal ini perkataan Rasulullah SAW bahwa seseorang ingin
berkurban menunjukkan bahwa hukum berkurban itu diserahkan kepada kemauan
seseorang, artinya tidak menjadi wajib melaikan sunnah. Kalau hukumnya wajib,
maka tidak disebutkan kalau berkeinginan.
ثَلاَثٌ
هُنَّ عَلَيَّ فَرَائِضَ وَهُنَّ لَكُمْ تَطَوُّع: الوِتْرُ وَالنَّحْرُ وَصَلاَةُ
الضُّحَى
Tiga perkara yang bagiku hukumnya fardhu tapi bagi
kalian hukumnya tathawwu' (sunnah), yaitu shalat witir, menyembelih udhiyah dan
shalat dhuha. (HR. Ahmad dan Al-Hakim)
b. Perbuatan Abu Bakar dan Umar
Dalil lainnya adalah atsar dari Abu Bakar dan Umar bahwa
mereka berdua tidak melaksanakan penyembelihan hewan qurban dalam satu atau dua
tahun, karena takut dianggap menjadi kewajiban.
Dan hal itu tidak mendapatkan penentangan
dari para shahabat yang lainnya. Atsar ini diriwayatkan oleh al-Baihaqi.
2. Jenis Hukum Sunnah : Sunnah Muakkadah
Dalam pandangan jumhur ulama, nilai kesunnahan penyembelihan hewan qurban ini
menduduki posisi yang cukup tinggi, yaitu sunnah muakkadah.
Dari sisi nilainya, jumhur ulama bukan sekedar menyebutkan bahwa menyembelih
hewan qurban itu sunnah, tetapi sunnah yang punya posisi nilai paling atas,
yaitu sunnah muakkadah.
Selain ketiga mazhab besar itu, para shahabat yang termasuk berada pada
pendapat ini adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Al-Khattab, Bilal bin Rabah
radhiyallahu'anhum. Termasuk Abu Ma'sud Al-Badri, Said bin Al-Musayyib, Atha',
Alqamah, Al-Aswad, Ishaq, Abu Tsaur dan Ibnul Munzdir.
Bahkan Abu Yusuf meski dari mazhab Al-Hanafiyah, termasuk
yang berpendapat bahwa menyembelih hewan udhiyah tidak wajib, hanya sunnah
muakkadah.
Karena bukan wajib, maka kalau pun seseorang yang mampu
tapi tidak menyembelih hewan qurban, maka dia tidak berdosa.
Apalagi bila mereka memang tergolong orang yang tidak mampu
dan miskin. Namun bila seseorang sudah mampu dan berkecukupan, makruh hukumnya
bila tidak menyembelih hewan qurban.
3. Mazhab As-Syafi'i : Sunnah 'Ain dan
Sunnah Kifayah
Yang agak menarik adalah pembagian jenis sunnah 'ain dan
sunnnah kifayah sebagaimana yang dijelaskan oleh Asy-syafi'iyah. Selama ini
kita hanya mengenal adanya fardhu 'ain dan fardhu kifayah saja. Misalnya shalat
lima waktu adalah fardhu 'ain, sedangkan shalat jenazah adalah fardhu kifayah.
Dalam penetapan hukum qurban ini, Asy-Syafi'iyah menyebutkan
hukumnya sebagai sunnah ain buat kepala keluarga, dan sunnah kifayah buat
anggota keluarganya, yaitu anak dan istri yang hidupnya dari nafkah kepala
keluarga.
Maksudnya, buat masing-masing kepala keluarga memang
disunnahkan untuk menyembelih hewan qurban, sehingga hukumnya sunnah 'ain.
Sedangkan buat anak dan istrinya, bila kepala keluarganya sudah menyembelih,
cukuplah sembelihan itu buat sekeluarga. Sehingga hukumnya buat anak dan istri
menjadi sunnah kifayah.
Dasarnya adalah hadits nabi SAW berikut ini :
كُنَّا
وُقُوفاً مَعَ النَّبِيِّ فَسَمِعْتُهُ يَقُولُ: يَا أَيُّهَا النَّاسُ عَلَى كُلِ
أَهْلِ بَيْتٍ فيِ كُلِّ عَامٍ أُضْحِيَّةِ
Kami wuquf bersama Rasulullah SAW, Aku mendengar beliau
bersabda,"Wahai manusia, hendaklah atas tiap-tiap keluarga menyembelih
udhiyah tiap tahun. (HR. Ahmad, Ibnu Majah dan
At-Tirmizy)
B. Wajib
Sedangkan pendapat yang mewajibkan terbagi menjadi dua. Pertama, mereka yang
mewajibkan penyembelihan hewan qurban sebagai hukum yang dasar dan asli. Kedua,
mereka yang mewajibkanya sebagai hukum turunan dan bukan hukum asli
1. Mazhab Al-Hanafiyah : Wajib
Mazhab Al-Hanafiyah menyebutkan bahwa menyembelih hewan
udhiyah hukumnya wajib bagi tiap muslim yang muqim untuk setiap tahun berulang
kewajibannya.
Selain mazhab Abu Hanifah, yang berpendapat wajib
diantaranya Rabi'ah, Al-Laits bin Saad, Al-Auza'ie, At-Tsauri dan salah satu
pendapat dari mazhab Maliki.
Dalil yang mereka kemukakan sampai bisa mengatakan hukumnya
wajib adalah ijtahad dari firman Allah SWT :
فَصَل
لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkurbanlah. (QS. Al-Kautsar : 2)
Menurut mereka, ayat ini berbentuk amr atau perintah. Dan
pada dasarnya setiap perintah itu hukumnya wajib untuk dikerjakan. Selain itu
juga ada sabda Rasulullah SAW berikut ini yang menguatkan, yaitu
مَنْ
كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ فَلاَ يَقْرَبَنَّ مُصَلاَّنَا
Dari Abi hurairah ra berkata bahwa Rasulullah SAW
bersabda,”Siapa yang memiliki kelapangan tapi tidak menyembelih qurban,
janganlah mendekati tempat shalat kami”. (HR.
Ahmad, Ibnu Majah dan Al-Hakim menshahihkannya).
Hadits ini melarang orang Islam yang tidak menyembelih
udhiyah untuk tidak mendekati masjid atau tempat shalat. Seolah-olah orang itu
bukan muslim atau munafik.
2. Jumhur : Dari Sunnah Menjadi Wajib
Jumhur ulama menyebutkan bahwa menyembelih hewan qurban bisa saja hukumnya
berubah menjadi wajib, yaitu apabila sebelumnya telah dinadzarkan.
Nadzar itu sendiri adalah sebuah janji kepada Allah SWT
yang apabila permintaannya dikabulkan Allah, maka dia akan melakukan salah satu
bentuk ibadah sunnah yang kemudian menjadi wajib untuk dikerjakan.
Nadzar untuk menyembelih hewan udhiyah membuat hukumnya
berubah dari sunnah menjadi wajib, baik dengan menyebutkan hewannya yang sudah
ditentukan, atau tanpa menyebutkan hewan tertentu.
Kalau seseorang punya kambing yang menyebutkan bahwa
kambingnya akan disembelihnya sebagai udhiyah apabila permohonannya dikabulkan
Allah, maka wajib atasnya untuk menyembelih kambing itu, dan tidak boleh
diganti dengan kambing yang lain.
Sedangkan kalau dia tidak menentukan kambing tertentu,
hanya sekedar berjanji untuk menyembelih kambing udhiyah, maka boleh
menyembelih kambing yang mana saja.
Kesimpulan
- Dari perbedaan pendapat di atas, menurut jumhur ulama bahwa
menyembelih hewan qurban itu hukumnya sunnah. Sehingga bila seseorang yang
mampu tidak menjalankannya, tentu tidak berdosa.
- Namun bila seseorang telah bernadzar sebelumnya dan Allah SWT
mengabulkan nadzarnya, hukumnya berubah menjadi wajib. Kalau tidak
dikerjakan jadi dosa.
- Pendapat yang mewajibkan adalah pendapat sebagian kecil ulama
dan bukan mewakili pendapat mayoritas ulama.
- Namun meski hukumnya tidak wajib, tetap saja orang yang mampu
dan punya keluasan harta, sangat dianjurkan untuk menyembelih hewan
qurban.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum
warahmatullahi wabarakatuh
Ahmad Sarwat, Lc., MA
HUKUM KURBAN ITU SUNNAH
Bagaimanakah hukum kurban?
Apakah wajib ataukah sunnah? Jumhur atau mayoritas ulama menganggap kurban itu
sunnah muakkad. Namun jangan sampai yang mampu atau punya kelapangan rezeki
meninggalkannya.
Ibnu Hajar kembali menyebutkan tentang masalah hukum kurban
pada hadits no. 1357 dari kitab beliau Bulughul Marom. Beliau membawakan hadits
berikut ini,
وَعَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ – رضي الله عنه – قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم
– – “مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ, فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا” –
رَوَاهُ أَحْمَدُ, وَابْنُ مَاجَه, وَصَحَّحَهُ اَلْحَاكِمُ, لَكِنْ رَجَّحَ
اَلْأَئِمَّةُ غَيْرُهُ وَقْفَه ُ
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang
memiliki kelapangan (rezeki) dan tidak berqurban, maka janganlah ia mendekati
tempat shalat kami.” Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ibnu
Majah. Al Hakim menshahihkannya. Akan tetapi ulama lainnya mengatakan bahwa
hadits ini mauquf, yaitu hanyalah perkataan sahabat.
(HR. Ahmad 14: 24 dan Ibnu Majah no. 3123. Al Hafizh Abu Thohir
mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).
Para ulama berdalil dengan hadits ini akan wajibnya kurban.
Alasannya, jika tidak boleh mendekati tempat shalat,
maka itu menunjukkan ada perkara wajib yang ditinggalkan. Yang berpendapat
demikian adalah Abu Hanifah, salah satu pendapat dalam madzhab Imam Malik,
pendapat Al Laitsi, Al Auza’i, salah satu pendapat Imam Ahmad dan pilihan Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah.
Namun jumhur atau mayoritas ulama yaitu ulama Syafi’iyah,
Hambali, dan Malikiyah berpendapat bahwa hukum kurban itu sunnah
muakkad. Namun bagi yang mampu dilarang meninggalkannya.
Di antara dalil lain dari mayoritas ulama adalah sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِذَا رَأَيْتُمْ هِلاَلَ ذِى الْحِجَّةِ وَأَرَادَ
أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّىَ فَلْيُمْسِكْ عَنْ شَعْرِهِ وَأَظْفَارِهِ
“Jika masuk bulan Dzulhijah dan salah seorang dari
kalian ingin menyembelih qurban, maka hendaklah ia tidak memotong sedikitpun
dari rambut dan kukunya.” (HR. Muslim no. 1977, dari Ummu Salamah). Yang
dimaksud di sini adalah dilarang memotong rambut dan kuku shohibul qurban itu
sendiri.
Sebagaimana dinukil dari Imam Nawawi, Imam Syafi’i berkata,
“Dalil di atas menunjukkan bahwa hukum kurban itu tidak wajib. Karena dalam
hadits digunakan kata “aroda” (siapa yang mau). Seandainya menyembelih qurban
itu wajib, maka cukuplah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengatakan, “Maka hendaklah ia tidak memotong sedikitpun dari rambut dan
kukunya hingga berkurban.” (Al Majmu’, 8: 217).
Ibnu Hajar dalam Fathul Bari menukil perkataan
Ibnu Hazm bahwa tidak ada seorang sahabat pun yang menyatakan bahwa kurban itu
wajib. Yang ada, mayoritas ulama menganggap bahwa hukum kurban itu sunnah.
Namun kurban tetaplah disyari’atkan. Dinukil dari Adhwaul Bayan, 5:
617.
Dalam Al Majmu’ (8: 216), Imam Nawawi rahimahullah
berkata, “Menurut madzhab Syafi’i dan madzhab mayoritas ulama, hukum kurban
adalah sunnah muakkad bagi yang mudah (punya kelapangan rezeki) untuk
melakukannya dan itu tidak wajib. Demikianlah pendapat kebanyakan ulama. Yang
berpendapat demikian adalah Abu Bakr Ash Shiddiq, ‘Umar bin Al Khottob, Bilal,
Abu Mas’ud Al Badri, Sa’id bin Al Musayyin, ‘Atho’, ‘Alqomah, Al Aswad, Malik,
Ahmad, Abu Yusuf, Ishaq, Abu Tsaur, Al Muzani, Daud dan Ibnul Mundzir.”
Di akhir bahasan tentang hukum kurban, Imam Nawawi rahimahullah
mengatakan, “Seandainya hukum kurban itu wajib, tentu tidaklah gugur karena
luput, artinya mesti diganti sebagaimana keadaannya untuk shalat jum’at dan
kewajiban lainnya. Namun ulama Hanafiyah berpendapat bahwa jika kurban itu
luput, maka tidak wajib qodho’. Adapun jawaban untuk dalil-dalil yang mengatakan
wajib, maka bisa jadi dalil tersebut dho’if sehingga tidak bisa dijadikkan
argumen (pendukung). Seandainya shahih, maka hadits tersebut dibawa ke hukum
sunnah karena kompromi berbagai dalil. Wallahu a’lam.” (Al Majmu’,
8: 217).
Meski Demikian, Tetaplah Berkurban Saat Mampu
Syaikh Muhammad Al Amin Asy Syinqithi rahimahullah setelah memaparkan perselisihan ulama mengenai hukum kurban, beliauberkata, “Janganlah meninggalkan ibadah qurban jika seseorang mampu untuk menunaikannya. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri memerintahkan, “Tinggalkanlah perkara yang meragukanmu dan ambil perkara yang tidak meragukanmu.” Selayaknya bagi mereka yang mampu agar tidak meninggalkan berqurban. Karena dengan berqurban akan lebih menenangkan hati dan melepaskan tanggungan. Wallahu a’lam.” (Adhwa’ul Bayan, 5: 618)
Hanya Allah yang
memberi taufik.
Referensi:
Minhatul ‘Allam fii Syarhi Bulughil Marom, Syaikh ‘Abdullah bin Sholih Al Fauzan, terbitan Dar Ibnil Jauzi,
cetakan pertama, tahun 1431 H, 9: 277-280.
Adhwaul Bayan fii Idhohil Qur’an bil Qur’an, Syaikh Muhammad Al Amin bin Muhammad Al Mukhtar Asy Syinqithi,
terbitan Dar ‘Alamil Fawaid, cetakan ketiga, tahun 1433 H.
Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab lisy Syairozi, Yahya bin Syarf An Nawawi, terbitan Dar ‘Alamil Kutub, cetakan kedua, tahun 1427 H.
HUKUM QURBAN WAJIB ATAU SUNNAH DALAM ISLAM
Kurban adalah kambing yang disembelih setelah melaksanakan
shalat Idul Adha dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah, karena Dia Yang
Maha Suci dan Maha Tinggi berfirman (yang artinya) : ” Katakanlah :
sesungguhnya shalatku, kurbanku (nusuk), hidup dan matiku adalah untuk Allah
Rabb semesta alam tidak ada sekutu bagi-Nya” [Al-An’am : 162]
Nusuk dalam ayat di atas adalah menyembelih hewan dalam
rangka mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala.[ Minhajul Muslim (355-356)]
Ulama berselisih pendapat tentang hukum kurban. Yang tampak
paling rajih (tepat) dari dalil-dalil yang beragam adalah hukumnya wajib.
Berikut ini akan aku sebutkan untukmu -wahai saudaraku muslim- beberapa hadits
yang dijadikan sebagai dalil oleh mereka yang mewajibkan :
Pertama.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ia berkata : Bersabda Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. (yang artinya) : ” Siapa yang memiliki
kelapangan (harta) tapi ia tidak menyembelih kurban maka jangan sekali-kali ia
mendekati mushalla kami” [Riwayat Ahmad (1/321), Ibnu Majah (3123),
Ad-Daruquthni (4/277), Al-Hakim (2/349) dan (4/231) dan sanadnya hasan]
Sisi pendalilannya adalah beliau melarang orang yang memiliki kelapangan harta
untuk mendekati mushalla jika ia tidak menyembelih kurban. Ini menunjukkan
bahwa ia telah meninggalkan kewajiban, seakan-akan tidak ada faedah mendekatkan
diri kepada Allah bersamaan dengan meninggalkan kewajiban ini.
Kedua.
Dari Jundab bin Abdullah Al-Bajali, ia berkata : Pada hari raya kurban, aku
menyaksikan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. (yang artinya) : ” Siapa
yang menyembelih sebelum melaksanakan shalat maka hendaklah ia mengulang dengan
hewan lain, dan siapa yang belum menyembelih kurban maka sembelihlah”
[Diriwayatkan oleh Bukhari (5562), Muslim (1960), An-Nasa’i (7/224), Ibnu Majah
(3152), Ath-Thayalisi (936) dan Ahmad (4/312,3131).] Perintah secara dhahir
menunjukkan wajib, dan tidak ada [Akan disebutkan bantahan-bantahan terhadap
dalil yang dipakai oleh orang-orang yang berpendapat bahwa hukum menyembelih
kurban adalah sunnah, nantikanlah.] perkara yang memalingkan dari dhahirnya.
Ketiga.
Mikhnaf bin Sulaim menyatakan bahwa ia pernah menyaksikan Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam berkhutbah pada hari Arafah, beliau bersabda (yang artinya) :
” Bagi setiap keluarga wajib untuk menyembelih ‘atirah [Berkata
Abu Ubaid dalam “Gharibul Hadits” (1/195) : “Atirah adalah sembelihan di bulan
Rajab yang orang-orang jahiliyah mendekatkan diri kepada Allah dengannya,
kemudian datang Islam dan kebiasaan itu dibiarkan hingga dihapus setelahnya.]
setiap tahun. Tahukah kalian apa itu ‘atirah ? Inilah yang biasa dikatakan
orang dengan nama rajabiyah” [Diriwayatkan Ahmad (4/215), Ibnu Majah (3125) Abu
Daud (2788) Al-Baghawi (1128), At-Tirmidzi (1518), An-Nasa’i (7/167) dan dalam
sanadnya ada rawi be7rnama Abu Ramlah, dia majhul (tidak dikenal). Hadits ini
memiliki jalan lain yang diriwayatkan Ahmad (5/76) namun sanadnya lemah.
Tirmidzi menghasankannya dalam “Sunannya” dan dikuatkan Al-Hafidzh dalam Fathul
Bari (10/4), Lihat Al-Ishabah (9/151)]
Perintah dalam hadits ini menunjukkan wajib. Adapun ‘atirah telah dihapus
hukumnya (mansukh), dan penghapusan kewajiban ‘atirah tidak mengharuskan
dihapuskannya kewajiban kurban, bahkan hukumnya tetap sebagaimana asalnya.
Berkata Ibnul Atsir :’Atirah hukumnya mansukh, hal ini
hanya dilakukan pada awal Islam.[ Jami ul-ushul (3/317) dan lihat ‘Al-Adilah
Al-Muthmainah ala Tsubutin naskh fii Kitab was Sunnah (103-105) dan “Al-Mughni”
(8/650-651).]
Adapun orang-orang yang menyelisihi pendapat wajibnya
kurban, maka syubhat mereka yang paling besar untuk menunjukkan (bahwa)
menyembelih kurban hukumnya sunnah adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam (yang artinya) : ” Apabila masuk sepuluh hari (yang awal dari
bulan Dzulhijjah -pen), lalu salah seorang dari kalian ingin menyembelih kurban
maka janganlah ia menyentuh sedikitpun dari rambutnya dan tidak pula kulitnya“.
[Diriwayatkan Muslim (1977), Abu Daud (2791), An-Nasa’i (7/211dan 212),
Al-Baghawi (1127), Ibnu Majah (3149), Al-Baihaqi (9/266), Ahmad (6/289) dan
(6/301 dan 311), Al-Hakim (4/220) dan Ath-Thahawi dalam “Syarhu Ma’anil Atsar”
(4/181) dan jalan-jalan Ummu Salamah Radhiyallahu ‘anha]
Mereka berkata [“Al-majmu” 98/302) dan Mughni Al-Muhtaj”
(4/282) ‘Syarhus Sunnah” (4/348) dan “Al-Muhalla” 98/3)] : “Dalam hadits ini
ada dalil yang menunjukkan bahwa menyembelih hewan kurban tidak wajib, karena
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Jika salah seorang dari kalian
ingin menyembelih kurban ….” , seandainya wajib tentunya beliau tidak menyandarkan
hal itu pada keinginan (iradah) seseorang”.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah telah membantah
syubhat ini setelah beliau menguatkan pendapat wajibnya hukum, dengan
perkataannya [Majmu Al-Fatawa (22/162-163)]
“Orang-orang yang menolak wajibnya menyembelih kurban tidak
ada pada mereka satu dalil. Sandaran mereka adalah sabda Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam : “Siapa yang ingin menyembelih kurban …..” Mereka berkata :
“Sesuatu yang wajib tidak akan dikaitkan dengan iradah (kehendak/keinginan) !”
Ini merupakan ucapan yang global, karena kewajiban tidak disandarkan kepada
keinginan hamba maka dikatakan : “Jika engkau mau lakukanlah”, tetapi terkadang
kewajiban itu digandengkan dengan syarat untuk menerangkan satu hukum dari
hukum-hukum yang ada. Seperti firman Allah :
(yang artinya) : ” Apabila kalian hendak mengerjakan shalat maka basuhlah ….”
[Al-Maidah : 6]
Dikatakan : Jika kalian ingin shalat. Dan dikatakan pula :
Jika kalian ingin membaca Al-Qur’an maka berta’awudzlah (mintalah perlindungan
kepada Allah). Thaharah (bersuci) itu hukumnya wajib dan membaca Al-Qur’an
(Al-Fatihah-pent) di dalam shalat itu wajib.
Dalam ayat ini Allah berfirman (yang artinya) : ” Al-Qur’an
itu hanyalah peringatan bagi semesta alam, (yaitu) bagi siapa di antara kalian
yang ingin menempuh jalan yang lurus” [At-Takwir : 27]
Allah berfirman demikian sedangkan keinginan untuk istiqamah itu wajib”.
Kemudian beliau rahimahullah berkata [Sama dengan di atas]
:
Dan juga, tidaklah setiap orang diwajibkan padanya untuk menyembelih kurban.
Kewajiban hanya dibebankan bagi orang yang mampu, maka dialah yang dimaksudkan
ingin menyembelih kurban, sebagaimana beliau berkata (yang artinya) : ” Siapa
yang ingin menunaikan ibadah haji hendaklah ia bersegera menunaikannya ….. ”
[Diriwayatkan Ahmad (1/214,323, 355), Ibnu Majah (3883), Abu Nu’aim dalam
Al-Hilyah (1/114) dari Al-Fadl, namun pada isnadnya ada kelemahan. Akan tetapi
ada jalan lain di sisi Abi Daud (1732), Ad-Darimi (2/28), Al-Hakim (1/448),
Ahmad (1/225) dan padanya ada kelemahan juga, akan tetapi dengan dua jalan
haditsnya hasan Insya Allah. Lihat ‘Irwaul Ghalil” oleh ustadz kami Al-Albani
(4/168-169)]
Haji hukumnya wajib bagi orang yang mampu, maka sabda
beliau : “Siapa yang ingin menyembelih kurban …” sama halnya dengan sabda beliau
: “Siapa yang ingin menunaikan ibadah haji ……..”
Imam Al-‘Aini [Dalam ‘Al-Binayah fi Syarhil Hadayah”
(9/106-114)] rahimahullah telah memberikan jawaban atas dalil mereka yang telah
disebutkan -dalam rangka menjelaskan ucapan penulis kitab “Al-Hadayah”[ Yang
dimaksud adalah kitab “Al-Hadayah Syarhul Bidayah” dalam fiqih Hanafiyah. Kitab
ini termasuk di antara kitab-kitab yang biasa digunakan dalam madzhab ini.
Sebagaimana dalam “Kasyfudh Dhunun” (2/2031-2040). Kitab ini merupakan karya
Imam Ali bin Abi Bakar Al-Marghinani, wafat tahun (593H), biografinya bisa
dilihat dalam ‘Al-Fawaidul Bahiyah” (141).] yang berbunyi : “Yang dimaksudkan
dengan iradah (keinginan/kehendak) dalam hadits yang diriwayatkan -wallahu
a’lam- adalah lawan dari sahwu (lupa) bukan takhyir (pilihan, boleh tidaknya -pent)”. Al-‘Aini
rahimahullah menjelaskan :
“Yakni : Tidaklah yang dimaksudka takhyir antara
meninggalkan dan kebolehan, maka jadilah seakan-akan ia berkata : “Siapa yang
bermaksud untuk menyembelih hewan kurban di antara kalian”, dan ini tidak
menunjukkan dinafikannya kewajiban, sebagaimana sabdanya :(yang artinya) : ”
Siapa yang ingin shalat maka hendaklah ia berwudlu” [Aku tidak mendapat lafadh
seperti iin, dan apa yang setelahnya cukup sebagai pengambilan dalil]
Dan sabda beliau (yang artinya) : ” Siapa diantara kalian
ingin menunaikan shalat Jum’at maka hendaklah ia mandi” [Diriwayatkan dengan
lafadh ini oleh Muslim (844) dan Ibnu Umar. Adapun Bukhari, ia meriwayatkannya
dan Ibnu Umar dengan lafadh yang lain, nomor (877), 9894) dan (919].
Yakni siapa yang bermaksud shalat Jum’at, (jadi) bukanlah
takhyir ….
Adapun pengambilan dalil tidak wajibnya kurban dengan
riwayat bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembelih kurban untuk
umatnya -sebagaimana diriwayatkan dalam “Sunan Abi Daud” (2810), “Sunan
At-Tirmidzi” (1574) dan “Musnad Ahmad” (3/356) dengan sanad yang shahih dari
Jabir- bukanlah pengambilan dalil yang tepat karena Nabi melakukan hal itu
untuk orang yang tidak mampu dari umatnya.
Bagi orang yang tidak mampu menyembelih kurban, maka
gugurlah darinya kewajiban ini.
Wallahu a’lam
Sumber :
Ahkaamu Al’ Iidaini Fii Al-Sunnah Al-Muthahharah, edisi Indonesia Hari Raya Bersama Rasulullah, oleh Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari, Pustaka Al-Haura’, penerjemah Ummu Ishaq Zulfa Hussein, dinukil dari http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=494
0 Response to "cara pembagian daging kurban"
Posting Komentar